Kamis 27 Nov 2014 14:33 WIB
Interpelasi BBM

Pengamat: Interpelasi BBM Naik tak Ada Dasarnya

  Sejumlah anggota DPR menunjukkan tandatangan dukungan hak interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM di Ruang Fraksi Partai Golkar, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11).(Republika/Agung Supriyanto)
Sejumlah anggota DPR menunjukkan tandatangan dukungan hak interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM di Ruang Fraksi Partai Golkar, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11).(Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG-- Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang berpendapat, wacana DPR pengajuan usul hak interpelasi terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sama sekali tidak mendasar.

Alasannya, karena kebijakan menaikan BBM merupakan domainnya pemerintah maka secara konstitusi tidak mutlak pemerintah meminta persetujuan DPR, kata Ahmad Atang di Kupang, Kamis, terkait wacana interpelasi.

"Menaikan BBM itu merupakan domainnya pemerintah maka secara konstitusi tidak mutlak pemerintah meminta persetujuan DPR. Dengan demikian, masalah BBM dilihat sebagai pintu masuk dalam membuka ruang interpelasi dewan kepada presiden menurut saya tidak mendasar," tukasnya.

DPR, katanya, mestinya meletakan persoalan kenaikan harga BBM dalam konteks kepentingan bangsa dan negara dibandingkan membangun wacana politik yang kontra produktif. Menurut dia, DPR mengetahui apa yang mendasari pertimbangan presiden dalam menaikan harga BBM, sehingga tidak harus memperdebatkan.

Dia mengatakan, naiknya harga BBM bersubsidi bukan hanya pada masa Presiden Jokowi, tetapi dari dulu kebijakan ini selalu diambil, bahkan ke depan sekalipun, namun tidak pernah muncul wacana interpelasi.

Karena itu, Ahmad Atang menyarankan agar DPR melakukan kontrol terkait risiko ekonomi dan sosial atas kebijakan penaikan harga BBM, bukan melakukan hak politik interpelasi. Interpelasi tidak harus menjadi senjata untuk memasung pemerintah, bahkan pemerintah tidak memandang interpelasi sebagai sebuah ancaman, tetapi dimaknai sebagai kontrol saja.

"Jadi apa yang dilakukan DPR hanya sebatas menunjukkan eksistensi politis, tidak sampai membubarkan pemerintahan hanya karena masalah kenaikan harga BBM," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement