REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai polisi mengalami kepanikan menjelang aksi mogok nasional yang akan dilakukan buruh menuntut kenaikan upah minimum menyesuaikan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
KSPI dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Rabu (26/11), menyatakan kepanikan terlihat dari pemanggilan sejumlah aktivis buruh di beberapa daerah oleh kepolisian setempat.
Di Bekasi, polisi memanggil salah satu aktivis buruh pada Selasa (25/11) untuk dimintai keterangan terkait persiapan aksi mogok nasional yang akan dilakukan oleh beberapa serikat buruh. Sejumlah pertanyaan diajukan penyidik Unit Keamanan Negara Polres Bekasi. Hal serupa juga terjadi di Karawang.
Sebelumnya, polisi juga telah memanggil salah satu aktivis buruh di Batam, Kepulauan Riau. Polisi memanggil salah satu aktivis buruh untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas dugaan penghasutan saat aksi buruh di depan kantor Wali Kota Batam dan kantor DPRD pada Selasa (18/11).
KSPI menilai pemanggilan sejumlah aktivis buruh itu sebagai upaya pelemahan terhadap kebebasan dalam menyampaikan aspirasi yang dilindungi undang-undang. Apalagi, dalam beberapa kasus, polisi tak segan melakukan aksi kekerasan dan tindak kriminalisasi kepada para pengunjuk rasa.
Sebelumnya, buruh melakukan aksi di beberapa daerah untuk menuntut revisi upah minimum yang sudah ditetapkan, disesuaikan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah menaikkan harga premium menjadi Rp8.500 dan solar menjadi Rp7.500.
KSPI menyatakan kenaikan upah minimum yang sudah ditetapkan menjadi sia-sia dengan kenaikan harga BBM. Meskipun upah minimum naik, tetapi kenaikan harga BBM tetap menurunkan daya beli buruh.
Aksi buruh di beberapa daerah diikuti beberapa elemen buruh serta federasi dan konfederasi serikat pekerja seperti KSPI, SPN, FSP Lem KSPSI, FSPMI, Aspek Indonesia, FSP KEP, dan lainnya.