REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Prahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan, Kepolisian RI (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap kepala daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Menurutnya, tidak semua tindakan korupsi yang melibatkan pejabat daerah mengharuskan adanya pembuktian melalui audit BPK dan BPKP.
"Kejagung dan Polri dapat mengusut kepala daerah yang terindikasi korupsi, jika perkara korupsinya tidak menyebabkan kerugian negara," kata Asep saat dihubungi Republika, Selasa (25/11).
Ia menjelaskan, dalam UU Antikorupsi disebutkan ada 29 macam tindak pidana korupsi. Namun demikian, kata Asep, tidak semua dari tindakan korupsi itu menyebabkan kerugian negara. Beberapa contoh di antaranya adalah menerima suap, gratifikasi, atau hadiah yang tidak wajar dari pihak swasta.
"Untuk kasus-kasus seperti di atas, audit dari BPK atau BPKP tidak diperlukan. Polisi dan jaksa bisa langsung mengusut kepala daerah yang bersangkutan," ujar Asep.
Namun, akan lain halnya jika yang diraup oleh pejabat daerah itu adalah uang negara, seperti dana dari APBN atau APBD. Untuk kasus seperti ini, kata Asep lagi, audit dari BPK dan/atau BPKP jelas dibutuhkan untuk membuktikan adanya kerugian negara.
"Intinya, keharusan adanya audit BPK dan BPKP itu hanya untuk kasus-kasus korupsi yang mengandung unsur kerugian negara. Di luar itu, polisi dan jaksa dapat langsung bertindak," imbuhnya.
Sebelumnya, sejumlah gubernur mengungkapkkan keengganan mereka untuk diperiksa terkait kasus korupsi tanpa prosedur yang jelas. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyatakan, pemeriksaan kasus korupsi kepala daerah oleh Kejakgung dan Polri haruslah melalui BPK, BPKP, dan pengawas internal kepala daerah. "Kecuali untuk tangkap tangan dan KPK," ujar Jokowi.