REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, meski "kartu sakti" yang diberikan pemerintah dinilai tumpang tindih dengan program daerah namun masyarakat miskin lebih baik dilayani daripada dibiarkan terlantar.
"Memang ada yang sebagian beririsan seperi Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar tapi jumlahnya tidak signifikan. Lebih baik kita layani daripada membiarkan keterlantaran," kata Khofifah di Jakarta, Selasa (25/11).
Hal itu ia sampaikan usai membuka konferensi nasional hasil penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial di Pusdiklat Kesos.
Ia merujuk pada Pasal 34 UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Negara di sini dalam arti pemerintah dan masyarakat, pemerintah yaitu pemerintah pusat dan daerah, katanya.
Ia menjelaskan data fakir miskin ada yang "top down" dan ada "bottom up", dimana yang "bottom up" adalah bagi daerah yang sudah punya program dan data fakir miskin.
"Itulah yang menjadi data yang di input oleh pemerintah pusat, maka belum dilakukan pendataan program perlindungan sosial (PPLS) 2014 karena kebetulan belum ada APBN yang dialokasikan," kata Khofifah.
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengatakan, ada ketimpang tindihan dari tiga kartu sakti yakni Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tumpang tindih tersebut, kata dia, seperti pada Kartu Jakarta Pintar (KIP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS), di mana ada tumpang tindih antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Karena tumpang tindih tersebut, juga terjadi pemborosan anggaran, ujar Danang.