Senin 24 Nov 2014 14:17 WIB
Nikah Beda Agama

PHDI: Nikah Beda Agama Selamanya Dianggap Berzina

Rep: Ira Sasmita/ Red: Agung Sasongko
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tentang ketidakbolehan menikah beda agama sedang diujimaterilkan di MK.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tentang ketidakbolehan menikah beda agama sedang diujimaterilkan di MK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menolak legalisasi pernikahan beda agama. Menurut ajaran Hindu yang dianut di Indonesia, pernikahan antara pasangan suami istri berbeda agama tidak sah dan selamanya dianggap melakukan zina.

"Pekawinan beda agama menurut ajaran Hindu dinyatakan tidak dapat disahkan. Bila hal itu dilakukan, dianggap tidak sah dan selamanya dianggap melakukan zina," kata Anggota Dewan Pakar PHDI, I Nengah Dana saat memberikan keterangan dalam sidang perkara pengujian Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (24/11).

Dalam sidang yang dipimpin Hakim Arief Hidayat itu, I Nengah menjelaskan, dalam ajaran Hindu perkawinan merupakan satu dari empat jenjang kehidupan manusia di dunia. Perkawinan merupakan bentuk kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Karena itu, kehidupan berumah tangga harus dijalankan melalui proses keagamaan dengan rangkaian yang sakral.

Ajaran Hindu menurutnya mengatur syarat-syarat umatnya sebelum melakukan perkawinan. Seperti syarat usia, kesepakatan orang tua, kesamaan dasar keyakinan, dan persyaratan dari petinggi agama.

UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut I Nengah sudah memuat persyaratan perkawinan hampir sama dengan ajaran Hindu. Aturan Pasal 2 Ayat 1 menurutnya sejalan dengan ajaran Hindu sehingga tidak ada yang perlu diubah.

"Berkaitan dengan Pasal 2 ayat 1, itu sudah sesuai dengan ajaran Hindu. Dan PHDI sebagai majelis tertingi umat Hindu tetap menginginkan pasal itu ada," ujarnya.

Lebih lanjut I Nengah mengungkapkan, agama sebagai hak setiap manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Setiap WNI mempunyai hak dan kebebasan untuk menjalankan ibadah dan kepercayaan masing-masing.

Persoalan pokok menurutnya bukan tentang aturan perkawinan. Tetapi bagaimana setiap orang menafsirkan dan menjalankan aturan agamanya.

"Pokok persoalan itu adalah agama. Kalau dia yakin dengan agamanya, tentu dia tidak akan menjalankan larangan agamanya. Misalnya kawin beda gama, atau pindah agama karena ingin kawin dengan orang beda agama," ujar I Nengah.

Dalam ajaran Hindu yang dianut di India, menurutnya memang tidak ada larangan pernikahan beda agama. Namun, sifatnya hanya terbatas bagi orang-orang yang keyakinannya dikatakan serumpun. Atau masih tergolong Hinduismi. Seperti pernikahan antara mereka yang beragama Hind dengan penganut aliran Sikh.

"Tapi kalau di Indonesia tidak. Ini persoalan agama, bukan perkawinan. Kalau kawinnya yang didahulukan, tentu akan jadi persoalan," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement