Sabtu 22 Nov 2014 12:46 WIB

Belajar dari Konflik Nigeria dan Republik Afrika Tengah

Rep: C14/ Red: Julkifli Marbun
Peta Afrika Tengah
Foto: timeslive.co.za
Peta Afrika Tengah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum, WPF) Kelima memasuki sesi keempat pada pagi ini, Sabtu (22/11) di Century Park Hotel, Jakarta. Sesi keempat dibuka dengan paparan tentang resolusi konflik di Nigeria dan Republik Afrika Tengah.

Adapun para pembicara sesi tersebut adalah tokoh perdamaian dari kedua tempat. Mereka antara lain Rafiu Ibrahim Adebayo dari University of Ilorin, Nigeria; Jibrin Baba Ndace, jurnalis senior dari Nigeria; Butt Asuquo Essein, seorang penasihat khusus urusan Nilai dan Etika Presiden Nigeria.

Kemudian, Ibrahim Hassan dari Organisasi Komunitas Muslim Republik Afrika Tengah untuk Santunan dan Kepemudaan; Pendeta Ludovic Mbana Passanguere dari Perwakilan Gereja Katolik Republik Afrika Tengah; dan Dr Claudio Mario Betti, Direktur Special Operation Community Sant'Egidio.

Seperti diketahui, Nigeria adalah negara produsen energi terbesar di Afrika. Namun, kerap terjadi konflik yang mengatasnamakan agama di sana. Salah satu kelompok ekstremis yang memicu konflik adalah Boko Haram. Selain itu, secara geopolitik Nigeria terbagi menjadi dua. Wilayah utara Nigeria mayoritas berpenduduk muslim, sedangkan wilayah selatan berpenduduk mayoritas Kristen.

Rafiu Ibrahim Adebayo pertama-tama menegaskan, konflik yang terjadi di Nigeria bukanlah konflik agama. Konflik semakin diperparah oleh kesenjangan pendidikan yang kian subur di kalangan rakyat biasa. Rafiu menambahkan, akar konflik sesungguhnya di Nigeria hanyalah kurangnya akses pendidikan.

"Warga di wilayah utara Nigeria tidak dapat mengakses pendidikan sebaik di wilayah selatan. Hal ini membuka lebar peluang tumbuhnya provokasi kekerasan atas nama agama," kata Rafiu, Sabtu (22/11).

Menurut Rafiu, isu pendidikan khusunya di wilayah utara Nigeria berkaitan dengan tradisi setempat yang cenderung konservatif. Sehingga, kelompok ekstremis semisal Boko Haram dapat berkembang di sana. Secara harfiah, boko haram sendiri berarti "pendidikan Barat haram." Sehingga, pandangan konservatif mayoritas rakyat di wilayah utara cenderung sejalan dengan spirit Boko Haram tersebut.

Butt Asuquo Essein, menjelaskan, isu pemberlakuan hukum syariah juga turut dibawa-bawa dalam arus konflik di Nigeria. Sentimen anti-syariah cukup tinggi di Nigeria. Apalagi, presiden terpilih periode sekarang,Goodluck Jonathan, beragama Kristen. Sehingga rakyat biasa, yang kurang pendidikan berwawasan luas, cenderung mudah terprovokasi.

Hal ini lebih jauh dijabarkan Jibrin Baba Ndace. Sejak gelombang demokrasi pada 1996 di Nigeria, muncul gejolak atas nama agama. Namun, kebangkitan demokrasi itu tidak diiringi dengan pemerataan ekonomi.

"Selain itu, kami tegaskan, Boko Haram tidak mewakili Islam Nigeria. Boko Haram pun tidak didukung mayoritas muslim Nigeria," kata Jibrin, Sabtu (22/11).

Jibrin juga menyampaikan perhatian terhadap isu virus Ebola di Afrika. Jibrin menegaskan, di Nigeria tidak ada wabah Ebola. Namun, kata Jibrin, semua pihak, tidak pandang agama maupun kepentingan politiknya, akan bersatu mencegah masuknya wabah Ebola ke Nigeria. Demikian pula, wabah Ebola adalah tanggung jawab kolektif dunia internasional.

"Isu Ebola mampu menyatukan Nigeria ketika negeri ini tengah dipecah-belah oleh konflik," kata Jibrin.

Mengenai konflik di Republik Afrika Tengah, Ibrahim Hassan, mengatakan, krisis yang terjadi di sana sangat kompleks. Konflik di Republik Afrika Tengah berawal dari pertentangan politik dan militer. Kemudian, isu perbedaan agama terbawa sehingga muncul ketegangan antara masyarakat Islam dan Kristen. Dampaknya, ribuan orang menjadi korban dan terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga.

"Ancaman menjadi hal yang umum. Misalnya, seorang Kristen mengancam seorang tetangganya yang muslim bahwa dia akan dijual ke komunitas Kristen untuk dibunuh. Demikian pula halnya bila dia seorang Kristen," kata Ibrahim Hassan, Sabtu (22/11).

Ibrahim Hassan mengatakan, di Republik Afrika Tengah yang berjuang untuk perdamaian cenderung berjumlah sedikit. Masyarakat Kristen dan muslim kerap sulit hidup berdampingan. Di sana, umat Islam merupakan minoritas.

Adapun Pendeta Ludovic Mbana menyampaikan, konflik di Republik Afrika Tengah murni merupakan konflik militer-politik, tidak dilatari agama. Kata Ludovic, masyarakat muslim dan Katolik di sana sudah hidup berdampingan selama lebih dari 15 tahun. Namun, konflik militer tersebut merusak hubungan harmonis ini. Apalagi, konflik ini menghancurkan tempat-tempat suci bagi umat beragama setempat, semisal masjid dan gereja.

"Sejumlah organisasi non-pemerintah di Republik Afrika tengah berupaya menyatukan kedua masyarakat itu akur kembali. Kami mendirikan organisasi Children Who Build untuk mewujudkan cita ini," kata Ludovic, Sabtu (22/11).

Terakhir, paparan disampaikan Dr Claudio Mario. Menurut Dr Claudio, konflik yang mengatasnamakan agama perlu solusi riil dan tak hanya pada tataran kebijakan. Claudio mencontohkan, para pemuka agama dapat berperan besar pada tataran lokal. Yakni, dengan cara menghalau provokasi yang menjanjikan balasan Tuhan, semisal surga atau sebagainya yang ukhrawi.

"Konflik adalah persoalan riil. Para pemuka agama seyogianya membina perdamaian sebagai nilai universal yang mesti dijaga," kata Caludio, Sabtu (22/11).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement