REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Menteri Luar Negeri (Menu), Retno Lestari Priansari Marsudi, telah memanggil Dubes Australia untuk Indonesia terkait kebijakan unilateral Pemerintah Australia tentang penanganan pencari suaka.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengapresiasi sikap tegas Menlu Retno terhadap Australia.
"Sikap tegas Menlu Retno patut diapresiasi. Pasalnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Hamonangan Laoly, telah menyampaikan posisi Indonesia akan terbebani dengan kebijakan pemerintah Australia itu," papar Hikmahanto dalam rilisnya kepada Republika, Jumat (21/11).
Menurut Hikmahanto, Menlu dan Menkumham telah bersinergi dan mengedepankan kepentingan Indonesia.
"Mereka melaksanakan kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk bersikap tegas ketika kepentingan nasional dirugikan oleh negara lain," jelasnya.
Menlu Retno, lanjutnya, tentu perlu menunggu respons dari pemerintah Australia yang telah menyampaikan 'strong concern' (perhatian penuh) terkait kebijakan baru penanganan para pencari suaka. Apalagi, pemeritah Australia juga sudah memanggil para Duta besar (Dubes) terkait.
Jika pemerintah Australia tidak mencabut tindakan unilateral itu, apalagi hal ini jelas bertentangan dengan HAM, maka pemerintah Indonesia perlu memanggil pulang Dubes Indonesia untuk Australia.
Tindakan Australia ini, jelasnya, sebenarnya bisa diantisipasi sejak Presiden Jokowi dilantik. Saat itu, Perdana Menteri (PM) Australia, Tony Abbbot, menyempatkan hadir dan melakukan pertemuan bilateral.
"Perlakuan istimewa pun diberikan oleh PM Tony Abbot. Hal ini berlanjut ketika Presiden Jokowi hadir di Brisbane dalam forum G-20," ujar Hikmahanto.
Rupanya, ungkap Hikmahanto, PM Tony Abbot menyanjung Presiden Jokowi dengan maksud agar kebijakan unilateral penanganan pencari suaka bisa berjalan mulus.
"Beruntung Presiden Jokowi memiliki Menlu dan Menkumham yang sangat nasionalis. Jadi, tindakan pemerintah Australia itu segera mendapat protes keras," papar Hikmahanto.