Jumat 21 Nov 2014 06:00 WIB

Republik Fans Club

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

“Caranya sangat sederhana, meskipun harus kerja ekstra dan melelahkan .... Kerja, kerja, kerja adalah yang utama.”

Itulah bunyi sepucuk surat Abraham Lincoln kepada John M Brockman. Surat bertanggal 25 September 1860 itu tak ada hubungannya dengan politik, meskipun saat itu Lincoln sedang bersiap untuk maju dalam pemilihan presiden Amerika Serikat. Lincoln sedang menasihati seorang guru muda dari Illinois, sebuah negara bagian di AS, yang bermimpi ingin menjadi pengacara-seperti halnya Lincoln.

Pada “Resonansi” sebelumnya, (“Antara Kristalisasi dan Tubir Jurang”, edisi 3 Oktober 2014), saya sudah mengutip kisah Lincoln. Di situ saya menyebutkan harapan saya agar presiden Indonesia akan berlaku seperti Lincoln. Kisah ini saya lanjutkan saat diskusi buku saya berjudul Perjuangan Melawan Kalah di kampus Unsoed Purwokerto pada 10 Oktober 2014.

Saat itu saya menyampaikan bahwa ada kesamaan antara Jokowi dan Lincoln. Keduanya sama-sama tukang kayu dan bukan siapa-siapa ditilik dari latar belakang keluarganya. Namun, demokrasi telah membuka peluang bagi siapa pun.

Rupanya, Jokowi kemudian menjadikan “kerja, kerja, kerja....” sebagai kredonya. Saya belum pernah tanya apakah itu murni ciptaan sendiri atau memang mengutip dari Lincoln. Kita tidak tahu apakah Jokowi bisa menjadi seperti Lincoln yang mampu menentukan masa depan bangsanya.

Presiden adalah satu hal, rakyat adalah hal lainnya. Walaupun Lincoln mengatakan bahwa “Kalau terpilih, saya akan menganggap semua penduduk Sangamon sebagai pendukung saya, baik yang memilih saya maupun yang menentang saya. Selama bertindak sebagai wakil mereka, saya akan diperintah oleh kehendak mereka ....”

Ya, seorang wakil rakyat harus bekerja atas dasar kehendak rakyatnya. Namun, saat ini, setelah pilpres berlalu, ada kecenderungan para pemilih masih tetap terbelah. Pilpres lalu, untuk kali pertama dalam sejarah, Indonesia benar-benar terbelah dua dalam alur emosi yang kental, yaitu antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo. Perolehan suara mereka pun relatif ketat. Hanya selisih relatif sedikit, sekitar 8 juta suara: 53 persen berbanding 47 persen.

Setelah pilpres, keterbelahan itu tecermin dari tren dua istilah dalam dunia media sosial, yaitu “move on” dan “sakitnya tuh di sini”. Dua pendukung mereka terus saling menyindir. Suasana itu tak begitu dirasakan setelah Pilpres 2004 ataupun 2009.

Awalnya dua istilah itu tak ada hubungannya dengan pilpres. Namun, istilah-istilah itu begitu mewakili suasana kebatinan setelah pilpres. Dua-dua istilah itu bisa pas diterapkan pada pendukung kedua kandidat, bergantung perspektifnya. Suasana yang belum juga move on dari dua pendukungnya membuat kejernihan kolam terganggu. Ada suasana mirip fan sebuah klub sepak bola. Salah-benar dibela, salah-benar dicela.

Mengapa bisa terjadi? Kita mengalami krisis keteladanan. Orde Baru adalah era yang pahit untuk dikenang. Muncul harapan yang tinggi ketika reformasi hadir. Kredo KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) menjadi mantra. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. KKN makin gila. Karena itu, muncul lelucon pahit “penak zamanku tho...”, lengkap dengan gambar Soeharto.

Publik kecewa dengan sikap elite yang sudah mengkhianati amanat reformasi. Ketidakpercayaan terhadap politisi dan partai demikian menggumpal. Suasana ini ditangkap oleh SBY pada Pilpres 2004 dan 2009. Ia tak mengandalkan partai. Ia membentuk kelompok-kelompok relawan yang secara resmi dinamakan Tim Sekoci.

Pada Pilpres 2014 fenomena relawan makin menggumpal. Jokowi bukanlah elite partai, berbeda dengan SBY yang mendirikan partai untuk mengusungnya. Bahkan, pada Pilpres 2014 memunculkan relawan di jagat netizen. Ini karena besarnya pemilih pemula dan pemilih muda yang gandrung pada media sosial (Indonesia masuk di papan atas untuk pengguna Facebook dan Twitter). Para relawan inilah yang menjadi penyokong utama Jokowi. Mereka adalah orang-orang yang sudah tak percaya lagi pada elite.

Mereka rindu pada hadirnya teladan. Mereka menilai Jokowi adalah sosok teladan yang harus mereka jaga. Seorang intelijen kawakan-mengomentari susunan kabinet yang tak ideal-berujar, “Pemerintahan ini sepenuhnya bergantung pada sosok Jokowi.”

Relatif imbangnya pemilih Prabowo juga mengguratkan fenomena fans club yang sama. Seperti tulisan saya sebelumnya, pertarungan antara Jokowi dan Prabowo adalah pergulatan cinta dan narasi (edisi 11 April 2014). Jokowi memenangkan hati para pendukungnya, Prabowo memenangkan mimpi tentang ide-ide progresif nasionalisme Indonesia. Ternyata Jokowi yang menang.

Politik fans club ini tentu tak bagus. Namun, kita tak bisa mempersalahkannya, bahkan justru bermanfaat. Hanya saja, kita tak bisa terus-menerus berharap pada situasi yang demikian. Satu-satunya cara adalah keharusan move on para pemimpinnya. Harus lahir para teladan-teladan baru yang masif.

Saat ini kita sudah memiliki para pemimpin lokal yang dicintai rakyatnya, seperti Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Abdullah Azwar Anas, maupun Nurdin Abdullah. Dengan segala kontroversinya, Basuki Tjahaja Purnama juga sedang menuju ke sana. Mereka adalah para pekerja keras dan petarung sejati. Mereka bekerja dengan visi baru: menjadi pelayan rakyat dan bekerja atas kehendak rakyat.

Jika elite nasional tak segera berubah, Jokowi Effect akan melibas mereka. Jokowi sudah membuktikan bahwa pemimpin lokal bisa menumbangkan siapa pun.

Ingatlah, “Redupnya keteladanan membuat orang optimistis menjadi fanatik, kaum pesimistis menjadi fatalistik, kaum oportunis berkibar, dan kaum objektif menjadi keganjilan.” Tentu kita tak senang dengan hal itu. Mari kita saling menjadi teladan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement