REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Bank Indonesia (BI) mendata temuan uang palsu di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara terbilang tinggi. Jumlahnya mencapai 3.531 bilyet hingga September 2014, sedikit menurun dibandingkan 4.924 bilyet pada 2013.
"Temuan uang palsu di Bali dan Nusa Tenggara ini berkontribusi 4,23 persen secara nasional," kata Deputi Gubernur BI Bidang Sistem Pembayaran dan Pengawasan Bank, Ronald Waas dijumpai Republika di Denpasar, Kamis (20/11).
Hasl survei BI menunjukkan keamanan bertransaksi nontunai adalah faktor utama bagi masyarakat, diikuti kemudahan transaksi dan interoperabilitas antarpenyedia jasa transaksi keuangan. Hal yang sama, kata Ronald, juga berlaku bagi transaksi tunai, khususnya rasa aman dari tindakan kriminal seperti pemalsuan uang.
Koordinasi dan konsolidasi yang kuat antar otoritas dan penegak hukum juga pengenaan sanksi tegas yang memberi efek jera pelaku akan mengurangi berbagai kejahatan pemalsuan uang.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjenpol Kamil Razak mengatakan kepolisian di sejumlah kota besar di Indonesia rata-rata menangkap pemalsu uang setiap harinya. Mereka biasanya menjamur menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
"Uang palsu sekarang teknologinya sudah bagus. Diraba pun, uang itu hampir sempurna. Setelah diterawang, baru ketahuan palsunya," ujar Kamil kepada Republika.
Kabareskrim Polri, kata Kamil, baru saja menemukan kasus penemuan uang palsu dan tumpukan per Rp 10 juta milik seorang pedagang sapi di Bogor. Ada Rp 300-400 ribu yang palsu dalam setiap tumpukan Rp 10 juta.
"Pedagang itu mencatat kerugian hingga Rp 15 juta," ujar Kamil.
Pabrik uang palsu di Kota Hujan tersebut, kata Kamil sudah dibongkar dan ditindak tegas. Meski demikian, menurutnya sifat manusia tetap saja mencari celah dan jalan pintas. Ia pun mengingatkan bahwa sanksi pidana pemalsuan uang mencapai 15 tahun hingga seumur hidup dengan denda Rp 100 miliar.