Kamis 20 Nov 2014 05:50 WIB

Tak Punya Pilihan, Ribuan Anak Kerja di Perkebunan Kelapa Sawit

Rep: C97/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anak-anak berusia tiga sampai sepuluh tahun bekerja di perkebunan kelapa sawit Sabah dan Sarawak, karena tidak ada pilihan lain. Hal ini disampaikan oleh Anis Hidayah Direktur Migrant Care kepada Republika, Rabu (19/11).

"Bukan karena orang tuanya tidak peduli. Ini karena mereka tidak punya pilihan lain", kata Anis. Ia menjelaskan ada sekitar 53 ribuan lebih anak-anak di Sabah dan Sarawak yang bekerja sebagai pemulung buah sawit.

Anak-anak hanya bekerja tiga sampai empat jam setiap hari. Hasil dari sawit yang dikumpulkan mereka jual ke pengepul dengan harga hanya beberapa ringgit perbutirnya. "Aktivitas ini sudah terjadi puluhan tahun", tutur Anis. Namun tepatnya sejak tahun berapa, ia tidak tahu.

Menurutnya latar belakang orang tua anak-anak tersebut adalah migran yang berasal dari Flores, NTT, dan Ambon. Permasalahannya terletak pada kondisi orang tua mereka yang tidak berdokumen.

"Orang tuanya tidak punya visa tenaga kerja dan dokumen lainnya. Karenanya mereka sulit dapat akses pelayanan publik. Terutama pendidikan", papar Anis.

Ketiadaan dokumen tersebut membuat anak mereka tidak bisa sekolah. Dan hal ini yang dikritisi oleh Migrant Care. Walaupun mereka masih bisa bermain dan tidak mengalami kerusakan fisik, tapi kesempatan mereka untuk belajar secara formal hilang.

Padahal mereka secara nyata masih berada di usia wajib sekolah. Banyak anak yang sudah bekerja sebagai pemulung selama 10 tahun. Bahkan ada yang sampai 20 tahun. Hingga tua pun profesi mereka tetap sebagai buruh perkebunan kelapa sawit.

Maka itu pada 2012 Migrant Care bersama Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di daerah tersebut membangun Learning Center bagi anak-anak pemulung sawit. "Upaya dari pemerintahan yang sekarang ya belum ada. Kan pemerintahannya masih baru", kata Anis. Walaupun begitu ia berharap dan memdorong pemerintah untuk benar-benar serius menangani masalah anak-anak ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement