Rabu 19 Nov 2014 13:45 WIB

Tarif Naik Lebih Dari 10 Persen, Operator Angkot Bakal Disanksi

Rep: c 85/ Red: Indah Wulandari
 Menteri Perhubungan Ignatius Jonan (dua dari kiri) memberikan keterangan pers terkait penyesuaian tarif angkutan umum di Gedung Kemenhub, Jakarta Pusat, Selasa (18/11).  (Antara/Dolly Rosana)
Menteri Perhubungan Ignatius Jonan (dua dari kiri) memberikan keterangan pers terkait penyesuaian tarif angkutan umum di Gedung Kemenhub, Jakarta Pusat, Selasa (18/11). (Antara/Dolly Rosana)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi berdampak pada spontanitas pelaku usaha di sektor transportasi yang ikut menaikkan tarif jasa angkutannya rata-rata 10-20 persen. Kementerian Perhubungan pun bakal memberi sanksi secara bertahap bagi pelakunya.

"Sanksi yang diberikan akan bertahap, mulai dari peringatan, pembekuan, sampai pencabutan izin usaha," jelas Plt Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Sugiharjo, Rabu (19/11).

Pembekuan izin usaha ini berupa penghentian sementara hingga pembekuan pengembangan bisnis perusahaan. Tergantung besaran dan pengulangan kecurangan yang dilakukan para operator.

 Hal ini didasarkan pada besara kenaikan yang dikeluarkan Kemenhub. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah mengeluarkan Keputusan Menteri tentang ketentuan perubahan tarif angkutan umum pasca kenaikan BBM. Selasa (18/11) lalu.

Besaran kenaikan tarif angkutan umum kelas ekonomi maksimum 10 persen. "Ini mempertimbangkan daya beli masyarakat dan dilihat dari sisi pengusaha," ujar Jonan.

Kenyataan di lapangan, sejumlah operator angkutan menaikkan tarif lebih dari 10 persen. Selain untuk angkutan umum, kenaikan tarif untuk moda transportasi lainnya juga akan terjadi.

Kemenhub memperkirakan, besaran kenaikan tarif untuk Kereta Api Ekonomi jarak jauh rata-rata Rp 13 ribu, KA ekonomi jarak sedang sebesar Rp 9 ribu, KA ekonomi jarak dekat atau loka sebesar rata-rata Rp 3 ribu, KRD naik sebesar Rp 2 ribu, dan KRL tidak mengalami kenaikan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement