REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK-- Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Rizal E Halim mengatakan kebijakan menaikkan harga BBM subsidi perlu mempertimbangkan waktu yang tepat yaitu pada awal tahun 2015 dengan menyiapkan sejumlah instrumen kebijakan pendukung terlebih dahulu.
"Menaikkan harga BBM subsidi saat ini tidak terlalu efektif akibat tahun fiskal yang sebentar lagi berakhir. Ada baiknya program kenaikan BBM subsidi di rencanakan mulai 2015 dan mencapai nilai keekonomisannya di 2016," kata Rizal di kampus UI Depok, Senin.
Rizal mengatakan kenaikkan BBM tentunya perlu disosialisasikan dengan baik ke publik, karena ada sekitar 29 juta orang miskin dan 70 juta orang rentan miskin, kelompok ini sangat sensitif terhadap perubahan harga komoditas (baik langsung maupun tidak langsung).
"Realitas politik juga masih menyisakan ketidakpastian yang tinggi sehingga terjerat pada persoalan saling menyandera," katanya.
Ia berharap pemerintah kali ini dapat memahami benar konteks dan substansi reformasi subsidi energi sebagai komitmen politik, sebagai kepentingan nasional dan bukan sebagai komoditas politik.
Dikatakannya menaikkan BBM saat ini kurang tepat karena fiskal 2014 menyisakan waktu yang kurang dari 2 bulan, realitas politik dan sosial tidak mendukung pada saat ini, harga minyak dunia bahkan cenderung menurun.
Pada perdagangan akhir pekan, Jumat (14/11), harga minyak mentah berada di level terendah dalam empat tahun terakhir yakni kurang dari 80 dollar AS per barrel. Selanjutnya kata dia ketersediaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok masih menyisakan persoalan yang cukup serius seperti kartel, penentuan kuota, dan sebagainya.
BPS menghitung jika BBM dinaikkan sebesar Rp 2.000-3.000, maka akan menyumbang inflasi sebesar 3,5 persen atau artinya inflasi di akhir tahun akan berada di atas 8 persen. "Kebijakan reformasi subsidi BBM memerlukan perencanaan yang matang dan dalam suatu program yang berkesinambungan, bukan parsial apalagi insidentil," jelasnya.