REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dinilai ingin mengembalikan Indonesia ke zaman presiden Soeharto. Ketika itu Indonesia berada dalam otoritarianisme. Kepemimpinan hanya sepihak. Siapapun yang mengusik akan dihabisi
Wakil Ketua DPR dari fraksi PKS, Fahri Hamzah, menyatakan parpol pendukung Jokowi dinilainya ingin menjadikan pemerintahan Jokowi seperti era mantan Presiden Soeharto. Hal ini terlihat dengan upaya keras mereka untuk menghapus UU MD3 perihal hak interpelasi dan angket.
"Nanti kita kayak DPR era Pak Harto. Tidak usah punya ngomong sumpel aja mulutnya selesai itu. Kita tidak mau seperti itu," terangnya, di kediaman Hatta Rajasa, Golf Mansion, Fatmawati, Jakarta, Jumat (14/11)
Menurutnya, tidak tepat bila pemerintahan ingin melemahkan lembaga legislatif. Permintaan KIH untuk merevisi UU tersebut sama saja mendukung agar Presiden Jokowi tidak boleh diawasi oleh parlemen.
"Harus diingat, tidak ada presiden mentang-mentang kita anggap baik, terus tidak diawasi. Itu bukan cara berdemokrasi," terangnya.
Pihaknya menduga upaya ini adalah titipan elit tertentu di KIH untuk membatalkan undang-undang yang baru direvisi tersebut. Dengan dihapuskannya sejumlah pasal dalam undang-undang MD3, maka akan melemahkan pengawasan terhadap pemerintah.
Partai pendukung Jokowi mengusulkan revisi Undang-undang 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Mereka ingin menghapus hak menyatakan pendapat (HMP). Hak menyatakan pendapat berkaitan dengan dugaan presiden dan wakil presiden melanggar hukum, berkhianat terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin negara.
Hak ini sering disebut sebagai impeachment alias pemakzulan presiden. Dasar hukumnya terdapat dalam pasal 215 yang berbunyi ‘apabila MK memutuskan bahwa pendapat anggota dewan terbukti, maka mereka bisa menyelenggarakan rapat paripurna untuk mengusulkan pemberhentian presiden ke MPR’.