Sabtu 15 Nov 2014 03:02 WIB

Ugal-Ugalan Ala Jokowi

Esthi Maharani
Foto: doc pribadi
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Esthi Maharani

Awalnya, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) akan diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 7 November 2014. Tapi, kalimat ‘kerja, kerja, kerja’ atau ‘kerja cepat’ sudah terlanjur jadi tagline, maka peluncuran kartu sakti Jokowi –sebut saja begitu—dipercepat jadi 3 November 2014.

Peluncuran itu disambut cukup meriah oleh masyarakat. Tak jarang ada pula yang memuji karena Jokowi merealisasikan janji. Tapi, kondisi itu tak berlangsung lama. Sebab, satu persatu pertanyaan muncul pascapeluncuran kartu tersebut.

Sebut saja mengenai pengadaan tiga kartu sakti, anggaran pembuatan kartu sakti hingga anggaran untuk merealisasikan fungsi kartu-kartu tersebut. Belum lagi keheranan yang timbul karena hanya dalam dua pekan setelah dilantik, Jokowi mengeluarkan kebijakan raksasa tanpa basa-basi.

Celakanya, para pembantunya kelihatan sedikit kelimpungan. Salah satu indikatornya adalah jawaban yang dilontarkan sejumlah menteri ketika ditanya soal kartu-kartu sakti itu.

Saya ambil contoh pernyataan dari Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa. Ia sempat mengatakan dana untuk kartu sakti itu diambil dari pos anggaran Kementerian Sosial. Saya kemudian mencari tahu, berapa besar anggaran Kemensos dalam APBN 2015.

Ternyata, Kemensos ‘hanya’ diberi Rp8 triliun saja. Kemensos bukan menjadi salah satu kementerian yang mendapatkan anggaran besar dalam APBN 2015. Ada tujuh Kementerian Negara dan Lembaga yang mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar diatas Rp40 triliun, yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Polri, dan Kementerian Perhubungan.

Jadi, Kemensos bukan salah satunya.  Lalu, apakah dana Rp8 triliun mampu mengcover 250 juta jiwa penduduk Indonesia? Jangan lupa bonus demografi Indonesia yang cukup besar di beberapa tahun mendatang.

Kartu-kartu sakti Jokowi juga melibatkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Di APBN 2015, Kemenkes mendapatkan alokasi dana Rp47,4 triliun. Dana tersebut akan mencukupi. Makanya dalam BPJS system yang dipakai adalah asuransi atau iuran karena negara secara tak langsung mengakui anggarannya tak memadai.

Sedangkan Kemendikbud Rp67,2 triliun. Ingat, itu sebelum Kemendikbud dipecah jadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Denengah serta Kementerian Ristek dan Perguruan Tinggi yang akan berdampak pada anggaran.

Lain lagi dengan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani yang sempat pula mengakui kartu-kartu sakti itu belum punya payung hukum. Ia bahkan mengatakan nanti dibuatkan Keputusan Presiden (Kepres) dan Instruksi Presiden (Inpres).

Hmm, jadi, kebijakan diluncurkan dulu, payung hukum baru dibuat kemudian? Payung hukumnya juga ‘hanya’ berupa Keppres dan Inpres. Apakah cukup kuat untuk melindungi kebijakan raksasa semacam kartu sakti Jokowi yang dananya melibatkan APBN alias UU?

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro sempat menjelaskan, anggaran KIS ada pada anggaran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Sementara itu, anggaran KIP adalah anggaran yang dialokasikan untuk bantuan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) yang ada di bawah Kemendikbud.

"Kan cuma nama programnya, nama kartunya lah tepatnya yang berubah. Artinya diharapkan dengan kartu itu bantuan itu bisa diperluas," kata Bambang di hari yang sama. Dengan kata lain, hanya beda cap.

Ditengah kebingungan, Presiden Jokowi pun angkat bicara.  Pada 7 November 2014, lewat akun facebook Ir H Joko Widodo dijelaskan sekelumit alasan dibalik peluncuran tiga kartu sakti tersebut.

Dituliskan;

Pemerintah bekerja cepat karena ingin memenuhi harapan banyak orang, melayani rakyat. Seperti soal Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Keluarga Sejahtera, tentu sudah ada anggarannya dan ini bisa ditanyakan ke Menteri Keuangan.

Lha, kalau harus lapor dulu ke DPR, lapor kemana? Ketemu siapa? Ke komisi yang mana? Alat kelengkapan dewan-nya mana? … Apa saya harus menunggu terus..?

Kita inginnya cepat, tapi kenapa DPR bergerak lamban?

- Untuk kepentingan rakyat kita jangan main-main…-

Saya hanya berpikir, kekisruhan DPR yang masih berlangsung saat ini adalah masalah internal kelembagaan. Seburuk apapun internal DPR, Presiden sebagai pimpinan lembaga eksekutif harus tetap menghormati DPR sebagai sebuah lembaga.

Caranya? Ya tetap mengajukan permisi sebagai bentuk etika politik dan aturan ketatanegaraan di Indonesia. Perihal DPR akan membahasnya lama atau tidak, itu urusan lain. Publik akan mencatat Jokowi dan pemerintahannya telah bekerja cepat, punya niatan baik, dan taat aturan dan hukum.

Lagipula, dalam APBN 2015, banyak ruang fiscal yang bisa diubah. Pembahasan APBN-P 2015 pun bisa dipercepat dari biasanya. Jika dari tahun ke tahun dibahas pertengahan tahun, khusus Jokowi bisa dimajukan menjadi Februari. Nah, disitu, eksekutif punya kewenangan untuk mengobrak-abrik warisan pemerintahan sebelumnya. Termasuk mengubah alokasi anggaran dan kebijakan lainnya.

Kalau kondisinya seperti sekarang, justru banyak pertanyaan dan kebingungan yang muncul. Saya sedikit bertanya-tanya, apakah jokowi berani merevisi atau setidaknya ‘merapikan’ kebijakan tiga kartu sakti itu?

Saya paham, Jokowi ingin memperlihatkan ia bisa menepati janji dan bekerja cepat. Tetapi, saya rasa menepati janji tidak harus detik itu juga terjadi. Apalagi ini urusannya banyak kepala dan banyak nyawa. Bekerja cepat bukan berarti peraturan harus dikesampingkan. Apalagi ini menyangkut uang rakyat.

Bolehlah bekerja cepat, tapi jangan juga menabrak rambu-rambu yang ada. Kalau seperti itu, apa bedanya dengan sejumlah sopir angkot yang ugal-ugalan?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement