Kamis 13 Nov 2014 06:09 WIB

Indonesia Waspadai Konflik Laut Cina Selatan

Rep: C57/ Red: Winda Destiana Putri
Konflik Laut Cina Selatan.
Foto: AP
Konflik Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia harus mewaspadai konflik Laut Cina Selatan. Khususnya, potensi konflik perbatasan dengan Republik Rakyat China (RRC) di Kepulauan Natuna.

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersikap tegas terhadap RRC terkait Nine Dashed Line (Garis Sembilan Titik) dalam konflik Laut China Selatan.

"Dalam konteks konflik Laut China Selatan, Presiden Jokowi harus menyampaikan permintaan kepada Pemerintah RRC untuk mengklarifikasi terlebih dahulu persoalan Nine Dashed Line," tutur Hikmahanto dalam rilisnya kepada Republika, Kamis (13/11).

Hal ini penting, sebelum Presiden Jokowi melanjutkan peran Indonesia sebagai juru damai yang jujur.  Pasalnya, Nine Dashed Line berpotensi tumpang tindih dengan laut Indonesia di Kepulauan Natuna.

Bila kepentingan nasional dirugikan, jelasnya, sebaiknya Indonesia mundur sebagai juru penengah yang jujur dalam konflik Laut China Selatan. "Selanjutnya, Indonesia akan memposisikan diri sebagai negara yang memiliki sengketa dengan RRC," tegas Hikmahanto.

Sebelumnya, dalam foto sesi para peserta KTT APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), Presiden Jokowi berdiri diantara Presiden Barack Obama dan Presiden China, Xi Jinping.

"Posisi Presiden Jokowi diantara Presiden RRC, Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat (AS), Barrack Obama tentu memiliki makna tersendiri," jelas Hikmahanto.

Dari perspektif Indonesia, lanjutnya, posisi Presiden ini dapat dimaknai sebagai Indonesia yang menjadi "rebutan" (konflik kepentingan) dari dua negara besar AS dan RRC. "Hal ini tentu membuat Indonesia tersanjung," ujarnya.

Namun, posisi berdiri ini dapat dilihat juga dari perspektif tuan rumah RRC. "Perspektif RRC penting karena sebagai tuan rumah berhak mengatur siapa berdiri dimana.

Kemungkinan alasannya ialah karena RRC membutuhkan pihak ketiga dalam menyikapi ketegangannya dengan banyak negara, termasuk AS. "Sebenarnya sebagai negara besar, Presiden AS sudah sepantasnya berdiri disamping tuan rumah RRC," paparnya.

"Untuk menghindari kesan jika ketegangan terselesaikan dengan penyelenggaraan KTT APEC, maka Presiden Jokowi diposisikan di antara AS dan RRC yang sedang terlibat ketengangan," ungkapnya.

Dalam konteks ini, lanjutnya, Indonesia dijadikan negara yang netral dan dapat berperan sebagai juru damai yang jujur. "Peran ini telah dibangun oleh Presiden SBY dan diapresiasi oleh masyarakat internasional," tuturnya

Saat ini, paparnya, banyak negara mengharapkan peran yang sama dari Indonesia. Jadi, peran penting ini tentu harus terus dilanjutkan oleh Presiden Jokowi.

"Namun, Presiden Jokowi harus menegaskan sikap kepada masyarakat internasional. Peran itu akan tetap diemban sepanjang kedaulatan Indonesia tidak direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan," tegas Hikmahanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement