REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, otonomi khusus (otsus) tidak bisa diberikan begitu saja ketika satu atau beberapa daerah menginginkannya. Otsus dikeluarkan atas kajian dan pemenuhan persyaratan yang bersifat khusus dan tidak terlepas dari latar belakang dan sejarah daerah tersebut.
"Otsus jangan diobral. Sekali diberikan tanpa keterkaitan dengan sejarah, akan jadi bumerang dan preseden buruk," kata Siti saat dihubungi Republika, Rabu (12/11).
Menurut Titi, pemerintah memberikan status otsus kepada Papua, Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Daerah Khusus DKI Jakarta karena syarat kekhususan memang terpenuhi oleh empat provinsi tersebut.
Aceh memiliki sejarah politik yang panjang hingga akhirnya memuncak pada Perjanjian Helsinki. Kemudian, sejak era reformasi pemerintah menerapkan otonomi daerah yang bersifat asimetris. Daerah-daerah yang memiliki sejarah politik yang khas diberikan status otsus. Seperti Papua, Yogyakarta, dan DKI Jakarta.
Siti menilai, adalah suatu kekeliruan ketika daerah-daerah lain meminta otsus hanya atas asumsi sendiri. Misalnya, menganggap ada kekhasan menyangkut budaya dan sejarah di daerah tersebut. Tanpa melihat unsur sejarah dan politik masa lalu di daerah tersebut.
"Sejak 2006 di Lapangan Puputan Bali itu memang sudah ada wacana tentang otsus di Bali. Alasannya karena mereka memiliki kekhasan budaya, tapi kan tidak hanya cukup dengan itu untuk mendapatkan otsus," jelas Siti.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah Kota Tidore, Maluku Utara serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali menyatakan akan memperjuangkan otsus untuk daerah masing-masing. Mereka menginginkan kekhususan layaknya Provinsi Papua.