REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berkat ketajaman tulisannya, Rasuna Said diangkat menjadi pemimpin redaksi di majalah Raya, sebuah majalah radikal yang tercatat menjadi tonggak perlawanan terhadap penjajah di Sumatera Barat. Akan tetapi, kala itu polisi rahasia Belanda (PID) sangat membatasi ruang gerak Rasuna Said dan teman-temannya.
Tokoh-tokoh PERMI yang Rasuna Said harapkan dapat memberikan perlawanan pada pihak Belanda justru tidak dapat melakukan apa-apa. Karena telah dikecewakan, Rasuna Said memilih untuk pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Di Medan, Rasuna Said berjuang dengan dua cara. Pertama, ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan khusus kaum wanita yang diberi nama Perguruan Putri pada 1973. Kedua, Rasuna Said menerbitkan majalah yang diberi nama Menara Poeteri.
Majalah ini merupakan majalah yang secara khusus membahas masalah keputrian dan keislaman. Majalah yang berslogan “Ini dadaku, mana dadamu” ini juga bertujuan untuk menyebarluaskan gagasan-gagasannya. Tapi, meskipun majalah ini banyak mengangkat masalah perempuan, tujuan utamanya ialah memasukkan kesadaran pergerakan antikolonialisme pada kaum perempuan. Dengan menggunakan nama samaran Seliguri, Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok” dan menghasilkan tulisan-tulisan tajam, tepat sasaran, dan lantang menyerukan antikolonialisme.
Ketajaman gagasan Rasuna Said dalam Majalah Menara Poeteri yang beredar di Medan ini terdengar gaungnya hingga Surabaya. Akan tetapi, Menara Poeteri ini terpaksa tidak berumur panjang karena masalah pendanaan, akibat sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Setelah Menara Poeteri ditutup, Rasuna Said memutuskan untuk kembali pulang ke Sumatera Barat.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said mendirikan sebuah organisasi pemuda di Padang. Untuk merebut hati Jepang, organisasi ini dinamakan Pemuda Nippon Raya. Akan tetapi, Jepang dapat melihat arah pergerakan organisasi pemuda ini yang lebih berorientasi untuk membentuk pemuda-pemuda Indonesia yang siap memperjuangkan kemerdekaan. Karena itu, Pemuda Nippon Raya dan seluruh organisasi serupa lainnya dibubarkan oleh pemerintahan Jepang, kecuali organisasi Putera bentukan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Rasuna Said kembali aktif dalam Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said kemudian duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan. Rasuna Said juga didaulat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), lalu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya, 2 November 1965 di Jakarta.