REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh Islam. Mereka bergerak dan mengambil peran penting dalam mendorong perlawanan terhadap penjajah dan merebut kemerdekaan.
Tokoh-tokoh keagamaan seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga turut mengerahkan para santri dan masyarakat sipil yang kala itu lebih patuh pada para kyai dibanding pemerintah sebagai milisi perlawanan. Perlawanan rakyat Indonesia yang semula spontan dan tidak terkoordinasi ini pun makin hari menjadi teratur.
Berikut Republika Online (ROL) akan mengupas sedikit tentang siapa mereka dan bagaimana peran mereka dalam kemerdekaan Republik Indonesia.
KH Mohammad Hasjim Asy'ari, Perlawanan dari Tebu Ireng
JAKARTA -- Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy’ari, atau biasa dikenal dengan Hasyim Asy’ari, merupakan anak dari pasangan Pimpinan Pesantren Keras, Kyai Asy'ari, dan Halimah yang lahir di Jombang pada 10 April 1875. Hasyim Asy’ari merupakan putra ketiga dari 10 bersaudara. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren, Hasyim Asy’ari dijuluki dengan "Hadratus Syeikh" yang berarti maha guru.
Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Pimpinan Pesantren Nggedang Kyai Utsman. Perjalanannya menimba ilmu dimulai sejak ia berusia 15 tahun.
Ia memulai perjalanannya mulai dari Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan, hingga Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Kemudian, pada 1892, Hasyim Asy’ari melakukan perjalanan ke Mekah untuk menimba ilmu.
Pada awalnya, di Mekah, Hasyim Asy’ari dibimbing oleh ahli hadist, Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Hasyim Asy’ari kemudian mendapatkan pembelajaran mengenai fiqih madzab Syafi'i dari dari seorang alim ulama yang juga juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar, Syaikh Ahmad Katib dari Minangkabau. Selain dari kedua syaikh ini, Hasyim Asy’ari juga mendapatkan pembelajaran dari beberapa ahli lainnya.
Sekembalinya dari Mekah, pada 1899, Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng yang merupakan pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad ke-20. Kemudian, di tahun 1926, Hasyim Asy’ari menjadi salah satu pelopor lahirnya Nahdatul Ulama (NU) yang berarti kebangkitan ulama.
Hasyim Asy’ari memiliki pengaruh yang sangat kuat, sehingga menarik perhatian para penjajah. Baik pihak Belanda maupun pihak Jepang berusaha untuk dapat merangkul Hasyim Asy’ari. Dalam upaya merangkul Hasyim Asy’ari, ia pernah dianugerahi bintang jasa pada 1937, akan tetapi ditolak oleh Hasyim Asy’ari.
Hasyim Asy’ari setidaknya justru pernah membuat pihak Belanda kewalahan hingga dua kali. Pertama, Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bahwa berperang melawan Belanda merupakan jihad dan yang kedua, mengharamkan ibadah haji dengan menggunakan kapal Belanda. Hasyim Asy’ari menulis kedua fatwa ini dalam bahasa Arab, yang kemudian disebar secara meluas oleh Kementerian Agama.