Senin 10 Nov 2014 06:00 WIB

ISIS Menyasar Mahasiswa Al Azhar Kairo

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Waspada! Inilah yang bisa disimpulkan ketika membaca laporan investigasi media As Sharq Al Awsat edisi Kamis pekan lalu, terkait aktivitas para propagandis ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Mereka bukan hanya merekrut para pemuda asing dari negara-negara Barat, seperti yang menjadi perhatian dunia selama ini. Kini para kaki-tangan ISIS juga langsung menusuk ke jantung dunia Islam: Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir.

Al Azhar merupakan universitas Islam tertua di dunia. Usianya lebih dari seribu tahun (970 M) dan hingga kini terus berkembang pesat. Jumlah mahasiswanya  berkisar 323 ribu orang dari berbagai negara, termasuk sekitar 5 ribu mahasiswa dari Indonesia. Ini belum termasuk jumlah siswa di tingkat SD, SMP, dan SMA  yang juga dikelola Al Azhar.

Universitas yang didirikan oleh Panglima Jauhar As Siqilli atas perintah Khalifah Muiz Lidinillah dari Daulat Fatimiyah ini merupakan salah satu poros pemikiran Islam, politik, dan ilmu-ilmu agama di dunia. Ia juga menjadi benteng Ahli Sunnah wal Jamaah yang mempromosikan Islam sebagai agama yang moderat, teleran, dan rahmatan lil alamim.

Sikapnya yang moderat dan toleran inilah yang kemudian bisa diterima oleh berbagai pihak. Kini hampir semua negara yang ada umat Islamnya selalu mengirimkan mahasiswanya untuk belajar ke Al Azhar, termasuk dari negara-negara Barat.

Moderasi dan toleransi Al Azhar, terutama para alumni dan mahasiswanya, kini bisa saja ‘terganggu’ dengan hadirnya para propagandis ISIS. Para kaki tangan Abu Bakar Al Baghdadi -- yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah di Negara Islam di Irak dan Suriah ini --, menurut laporan media berbahasa Arab yang bermarkas di London, Al Sharq Al Awsat, muncul di berbagai kawasan yang jadi tempat aktivitas  mahasiswa Al Azhar. Mereka mengendap-endap bagaikan hantu mencari mangsa.

Kawasan Husein, Kairo, adalah salah satunya. Terutama di Masjid Al Azhar dan Masjid Husein yang berada di kawasan itu. Dua masjid ini posisinya berseberangan dan tidak jauh dari kantor pusat Al Azhar dan kampus Al Azhar.

Berikut adalah percakapan singkat di halaman Masjid Al Azhar antara seseorang yang diperkirakan propagandis ISIS dan ‘calon mangsanya’ yang sempat direkam Al Sharq Al Awsat.

‘‘Assalamu ‘alaikum... Perkenalkan, nama saya Ahmad, saudaramu sesama Muslim. Bolehkah saya berkenalan dengan Anda?’’

‘‘Nama saya Muhammad. Saya belajar di Universitas Al Azhar.’’

‘‘Anda sering datang ke Masjid Al Azhar ini?’’

‘’Ya...’’

‘’Baiklah, kita bertemu lagi pada waktu yang lain, untuk membela dan menegakkan agama Islam di muka bumi.’’

Seorang yang mengaku bernama Ahmad diduga merupakan propagandis ISIS. Yang seorang lagi adalah mahasiswa dari Mali yang baru saja mengikuti pelajaran tambahan di bidang fikih di Masjid Al Azhar.

Menurut investigasi Al Sharq Al Awsat, bila ‘si mangsa’ dianggap tak berkenan, sang propagandis pun menghilang. Namun, bila ‘si mangsa’ terlihat menyambut baik maka percakapan akan dilanjutkan di waktu lain. Bisa melalui pertemuan langsung atau lewat media sosial (facebook, twitter, dll). Pertemuan atau pembicaraan lanjutan ini bisa saja sampai pada kesepakatan bagaimana cara dan ditail ‘si mangsa’ bisa mencapai Irak atau Suriah melalui jalan-jalan tikus perbatasan Turki-Suriah.

Selain Masjid Al Azhar, para propagandis Al Baghdadi juga banyak mencari mangsa di Masjid Husein yang berada di seberang Masjid Al Azhar. Sasarannya kali ini para pemuda yang kuliah di Al Azhar, baik mahasiswa Mesir maupun asing. Atau para pemuda Mesir pengangguran yang ‘menginap’ di Masjid Husein.

Al Sharq Al Awsat tidak menjelaskan apakah para propagandis ISIS itu warga Mesir atau orang asing. Di kawasan Husein bercampur baur manusia dari berbagai bangsa. Selain terdapat Masjid Husein, Masjid Al Azhar, kampus Al Azhar, dan kantor pusat Al Azhar, juga terdapat pasar dan jalan memanjang yang di kanan kirinya bejejer toko-toko penjual berbagai souvenir khas Mesir.

Namun, berdasarkan sumber intelijen Mesir, di antara para propagandis itu terdapat orang-orang asing dari berbagai negara yang menyamar sebagai mahasiswa Universitas Al Azhar. Mereka tinggal di asrama mahasiswa yang bernama Islamic Student City (Madinatul Bu’uts Al Islamiyah) di kawasan Al ‘Abbasiyah, sekitar 6 km dari kampus Al Azhar. Sekitar 4 ribu mahasiswa asing tinggal dan berbaur di asrama mahasiswa ini, termasuk mahasiswa dari Indonesia.  

Menurut Al Sharq Al Awsat, mengutip sumber tidak resmi, orang-orang Mesir yang bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah berjumlah sekitar seribu orang. Sedang sumber kemanan Mesir menyebut jumlah 8 ribu orang telah menjadi anggota ISIS, Alqaida, dan organisasi garis keras lainnya di sejumlah negara Arab.

Di antara jumlah tersebut bahkan ada yang menjadi pemimpin organisasi radikal ini, seperti Aiman Al Zawahiri yang menjadi orang nomor satu di Alqaida, menggantikan Usamah bin Ladin yang telah dibunuh pasukan AS. Juga empat ‘ulama’ Mesir yang kini menjadi referensi hukum atau undang-undang ISIS.

Mereka adalah Hilmi Hasyim dengan nama alias Syakir Ni’amullah, Abu Muslim Al Misri (hakim agung ISIS), Abu Al Haris Al Misri, dan Abu Syu’aib. Fatwa-fatwa empat ‘ulama’ dari Mesir inilah yang dijadikan dasar hukum semua sepak terjang ISIS, termasuk diperbolehkannya membunuh, menyiksa, merampas harta pihak-pihak yang dianggap musuh, dan tindakan kekerasan lainnya. Pemenggalan kepala wartawan dan warga Barat yang dipertontonkan di video yang dirilis ISIS juga bersumber dari fatwa-fatwa mereka ini.

Hingga kini belum belum ada data  berapa mahasiswa Indonesia di Mesir yang telah terpincut dengan para propagandis Abu Bakar Al Baghdadi ini dan pergi bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Sejauh ini baru Wildan Mukhollad yang diketahui telah bergabung dengan ISIS dan  tewas di Irak ketika melakukan bom bunuh diri pada awal tahun ini. Wildan, 19 tahun, berasal dari Lamongan, Jawa Timur, dan diketahui belajar di Dirasah Khosoh Al Azhar sebelum berangkat ke Suriah dan Irak.

Melihat kondisi seperti itu, seperti yang pernah saya tulis dalam buku ‘ISIS: Jihad atau Petualangan’ yang baru diterbitkan oleh Penerbit Republika (Pustaka Abdi Bangsa), saya khawatir atas pengaruh negatif ISIS dan paham radikal lainnya pada para mahasiswa kita di Mesir dan negara-negara Arab lainnya. Pengaruh itu bukan di kampus, tapi bisa saja didapat di luar kuliah di universitas. Apalagi sebagian besar aktivitas mahasiswa berada di luar kampus.

Ini bukan berari kita harus melarang anak-anak muda kita belajar di Timur Tengah. Yang harus menjadi perhatian kita -- terutama Kedutaan Besar RI di Mesir, Kementerian Luar Negeri dan Agama, aparat keamanan/intelijen, DPR, dan para ulama -- adalah memantau dan membina para mahasiswa itu agar tidak membawa pengaruh negatif/paham radikal ketika pulang ke Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement