REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) PP pemuda Muhammadiyah menolak secara tegas nikah beda agama untuk dilegalkan. Hal tersebut dikarenakan pernikahan beda agama menimbulkan implikasi luas terhadap hukum keluarga yang lain. Seperti hukum warisan, perwalian, dan pemeliharaan anak.
Ia menjelaskan, sikap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang mendukung nikah beda agama untuk dilegalkan karena alasan Hak Asasi Manusia dinilai kurang tepat. Hal tersebut dikarenakan jika nikah beda agama dilegalkan, justru akan melanggar hak asasi sebagian besar rakyat Indonesia yang mayoritas bergama Islam.
"Karena hak meyakini dan mengamalkan suatu ajaran agama tertentu juga bagian dari hak asasi yang melekat dalam setiap individu yang harus dilindungi oleh negara," ujar Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Saleh Partaonan Daulay kepada Republika, Kamis (6/11).
Menurutnya, nikah beda agama tidak tepat dilegalkan di Indonesia. Ia berharap, para hakim konstitusi diharapkan dapat menelusuri jejak-jejak perkembangan hukum keluarga yang telah mentradisi di Indonesia sejak ribuan tahun lalu.
"Apalagi, sejak tahun 1991, posisi hukum keluarga Islam di Indonesia telah menjadi hukum materil terapan sebagaimana termaktub di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)," katanya.
Sebelumnya, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menilai pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah waktunya direvisi. Salah satu alasan utama PGI ialah UU Perkawinan telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Hal serupa disampaikan oleh Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), menurut Walubi permohonan peninjauan kembali Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 laik dipertimbangkan.