REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan peredaran daging celeng (babi hutan) oplosan tidak dapat ditolerir sedikit pun, termasuk oplosan daging celeng dengan daging sapi.
Ketua Dewan Pimpinan MUI Pusat, Dr. H. Anwar Abbas, menyatakan penjualan oplosan daging sapi dengan daging celeng merupakan tindakan tidak terpuji dan tidak bisa ditolerir.
"Jika ada pengusaha yang menjual daging sapi yang sudah dioplod dengan daging celeng kepada ummat Islam, hal ini jelas-jelas merupakan tindakan tidak terpuji dan tidak bisa ditolerir,"tegas Anwar saat dihubungi Republika, Rabu (5/11) petang.
Namun, lanjutnya, jika ada orang yang menjual daging babi kepada orag yang agama dan kepercayaannya tidak melarang makan daging babi, hal itu tidak masalah.
Dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, jelasnya, disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jadi, ungkapnya, kalau ada orang yang akan merusak dan mengganggu pelaksanaan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyatnya maka negara harus hadir.
"Pemerintah harus bertindak tegas kepada orang yang menjual dan mendistribusikan daging celeng oplosan itu," tegas Anwar.
Jadi, tidak ada lagi pedagang dan pengusaha yang berani melakukan tindakan tercela itu. Kepada umat Islam, paparnya, MUI mengimbau agar berhati-hati dalam membeli daging. "Selidiki betul apakah daging yang akan dibeli itu sudah benar-benar terjamin kehalalannya untuk dikonsumsi ummat Islam," jelas Anwar.
Pernyataan senadadiungkapkan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto. Susanto menegaskan pelaku pengoplos daging celeng dengan daging sapi jelas melanggar etika bisnis, khususnya bagi kalangan anak-anak di komunitas Muslim.
"Pelaku pengoplos daging celeng dengan sapi merupakan pelanggaran etika bisnis," tutur Susanto saat dihubungi Republika, Rabu (5/11) sore. Menurutnya, tindakan mengoplos daging segar dengan daging yang hampir busuk juga melanggar etika bisnis.
Semua pihak, paparnya, harus saling menghormati, menjalankan bisnis yang beretika dan memperhatikan kosumen, terutama konsumen bayi dan anak. Susanto pun menyesalkan timbulnya peredaran daging oplosan sapi dengan daging celeng. "Hal itu tidak seharusnya terjadi," ungkapnya.
Pasalnya, papar Susanto, peredaran daging oplosan berdampak pada anak, apalagi oplosan daging segar dengan yang sudah bau. "Pemerintah daerah pun harus memastikan anak-anak di daerahnya terlindungi dari peredaran daging oplosan," paparnya.
Sebelumnya terungkap kasus penyelundupan daging celeng ilegal di Tambun, Kabupaten Bekasi. Disperindagkop Bekasi mengaku akan memperketat pengawasan terhadap peredaran daging celeng oplosan, termasuk di luar hari-hari besar.