REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan pendidikan nasional harus dapat mengubah pola pikir tentang hukuman kepada murid.
"Bentuk 'reward and punishment' (penghargaan dan hukuman) telah mengakar dalam dunia pendidikan. Masih banyak ditemukan praktek 'punishment'," kata Susanto di Jakarta, Selasa (4/11).
Dia mencontohkan, secara umum hukuman bermuatan kekerasan, diskriminatif, tidak melibatkan anak dalam pembuatan aturan, mengedepankan kepentingan institusi daripada anak, cenderung menggunakan cara pandang guru/pengelola sekolah, mengabaikan perasaan dan pandangan anak, membuat siswa takut melanggar daripada sadar menaati norma, penentuan poin berdasarkan tafsir guru yang kurang terukur serta membuat siswa cemas.
"Terminologi 'punishment' atau sanksi hukuman harus ditiadakan dalam dunia pendidikan. Karena terminologi itu memiliki konotasi buruk, bahkan cenderung dimaknai 'pembalasan' atas kesalahan yang ada. Fatalnya pola hukuman lebih banyak dibandingkan penghargaan," kata ketua Divisi Sosialisasi KPAI itu.
Menurut dia, "reward and punishment" hanya berhasil membangkitkan motivasi eksternal dan umumnya gagal mambangkitkan motivasi internal. Padahal dalam mewujudkan tujuan pendidikan, dibutuhkan motivasi internal agar para pelajar menjadi pembelajar sejati. Karena dampak motivasi eksternal yang terbangun bagi anak tidak melanggar tata tertib sekolah didorong oleh rasa takut, bukan kesadaran untuk menghormati norma atau nilai.
Maka dari itu, Susanto mengusulkan agar pemerintah mengubah pola pikir hukuman dalam dunia pendidikan. "Posisi Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah sangat strategis untuk mengubah 'mindset' dunia pendidikan termasuk tenaga pendidik dan kependidikan," kata dia.