REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Kesejahteraan petani dikabupaten Bandung masih belum memenuhi standar kelayakan hidup yang baik. Hal tersebut dikarenakan tidak seimbangnya antara biaya produksi dan pendapatan yang mereka peroleh. Bahkan, sebagian besar petani mendapatkan penghasilan tidak lebih dari Rp 3 juta per empat bulan.
Seorang petani yang menggarap 500 tumbak membutuhkan biaya Rp 6 juta. Dari situ dapat memanen 4,5 ton gabah, sedangkan jatah pengarap 2 ton. Dua ton dikalikan dengan harga sekarang gabah kering pungut. Berarti Rp 8,4 juta dipotong Rp 6 juta dari dari biaya produksi, sisanya 2,4 juta dan itu untuk hidup selama empat bulan.
‘’Kalau dibilang kesejahteraan petani masih minim. Saya menggarap itu untuk empat bulan, layak gak,’’ kata Adang barnas, wakil ketua himpinan kerukunan tani Indonesia (HKTI) kabupaten Bandung kepada Republika di Soreang, Bandung, Senin (3/11).
Apalagi, kata Adang yang juga seorang petani, saat masuk musim tanam, biaya membersihkan rumput untuk 500 tumbak habis Rp 5 juta. Sehingga, saat –saat tertentu para petani malah mengeluarkan biaya lebih besar.
‘’Jadi boro–boro untung, yang ada malah buntung,’’ ujarnya.
Kondisi semacam itulah, lanjut Adang, yang membuat anak –anak muda tidak berminat untuk masuk ke dunia pertanian. Jadi mereka akan lari ke sektor lain, misalkan ke pabrik dengan penghasilan Rp 3 juta sebulan. Jadi lama –lama sektor akan ditinggalkan oleh masyarakat.
‘’Anak –anak muda butuh penghasilan. Karena apabila mereka menggarap 500 tumbak dengan pengahasilan seperti itu kan tidak cukup,’’ jelasnya.