Kamis 30 Oct 2014 21:33 WIB

Implementasi Kartu Sakti Jokowi Harus Diimbangi Fasilitas Pendukung

Rep: C87/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Calon Gubernur Joko Widodo memperlihatkan kartu sehat dan kartu pendidikan, di Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk, Ahad (1/3). (Republika/Adhi Wicaksono)
Calon Gubernur Joko Widodo memperlihatkan kartu sehat dan kartu pendidikan, di Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk, Ahad (1/3). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Denni P Purbasa mengatakan studi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) ternyata memiliki hasil yang mencengangkan. Studi TNP2K menyebut penggunaan BLT sangat positif, untuk memenuhi kebutuhan pokok, sekolah, dan berobat.

Sementara menurutnya implementasi Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar harus diimbangi dengan penyediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang lebih dekat dengan masyarakat. Program tersebut sangat baik jika sisi suplai kesehatan, pelayanan dan fasilitas kesehatan ditingkatkan, serta didekatkan dengan masyarakat. Misalnya, melalui puskesmas di atas kapal yang keliling pulau-pulau.

Ia menambahkan model kompensasi apa pun termasuk KIS dan KIP pasti tidak 100 persen tepat sasaran, dan tidak bisa terhindar dari eksklusion dan inklusion. Namun, sudah ada basis data terpadu di TNP2K.

Sehingga dibutuhkan mekanisme untuk mengoreksi daftar kepesertaan. Sebab, status kemiskinan setelah satu sampai dua tahun akan berubah. Nantinya, saat program diluncurkan, mekanisme koreksi harus dilakukan.

Menurutnya, pendistribusian BLT pada 2013 dengan basis data terpadu jauh lebih akurat. Saat itu yang diberikan BLT bukan cuma orang miskin tapi juga kategori rentan kemsikinan yakni yang 10% pendapatannya di atas garis kemiskinan.

"Garis kemiskinan itu kaku, satu rupiah di atas garis dianggap tidak berhak. Tapi selama mekanisme itu ada tidak usah khawatir eksklusion dan inklusion. KIS dan KIP tidak perlu khawatir, karena TNP2K sudah berpengalaman," jelasnya.

Di sisi lain, besaran kompensasi kenaikan harga BBM tahun ini hanya senilai Rp 5 triliun. Padahal semakin besar kenaikan harga BBM, akan semakin besar dampak inflasi, sehingga beban hidup semakin besar. Seharusnya kompensasi juga lebih besar. Dia berharap pada APBN 2015, DPR mendukung usulan program pemerintah untuk rakyat miskin.

"Kompensasi untuk tahun ini sedikit dulu, nanti di APBN 2015 dimasukkan. Harus dikawal, kalau niat pemerintah mengoreksi subsidi BBM yang tidak tepat sasaran harus didukung," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement