REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf, perusahaan perkebunan yang melakukan pembakaran hutan tidak cukup dipenjarakan, tetapi diikuti sanksi penyitaan aset perusahaan tersebut.
"Aset-aset perusahaan perkebunan yang melanggar perundang-undangan tersebut disita, sehingga menimbulkan efek jera dan mengurangi kerugian negara dan masyarakat," katanya usai peluncuran Buku Paduan Praktis Pengenalan Sektor Kehutanan Bagi Kalangan Perbankan di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan, selama ini, perusahaan-perusahaan yang melakukan perluasan perkebunan dengan membakar lahan dan hutan telah menimbulkan malapetaka kabut asap, kekeringan dan lainnya bagi masyarakat.
"Aset-aset perusahaan perkebunan yang dijaminkan kepada perbankan dapat rampas untuk negara, perusahaan tersebut harus membayar kompensasi kerusakan hutan akibat aktivitas perusahaan tersebut," ujarnya.
Menurut dia, selama ini, sanksi yang diberikan kepada perusahaan perkebunan ini hanya berupa penjara satu hingga dua tahun, sehingga hukuman tersebut belum sebanding dengan kerusakan dan dampak sosial, lingkungan yang ditimbulkan.
"Kami menilai sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang membakar hutan ini masih kurang dan harus diberikan sanksi yang berat untuk menjaga sumber daya alam bangsa ini," ujarnya.
Ia mengatakan, selama ini, perbankan dalam memainkan perannya sebagai pendukung dana dan menjadi tempat yang mudah untuk bertransaksi dibandingkan lembaga keuangan lainnya.
"Bank sering tak sadar telah ikut memperlancar operasi-operasi penebangan dan pembukaan kawasan hutan oleh debiturnya yang beberapa di antaranya dilakukan secara illegal," ujarnya.
PPATK, kata dia, sudah beberapa kali mengkonfirmasi bahwa transaksi keuangan tak lazim yang ditemuinya diantaranya terkait langsung dengan usaha kehutanan.
"Korupsi dan pencucian uang di sektor kehutanan telah terbukti terjadi seiring terjadinya tindak pidana di bidang kehutanan seperti illegal logging, pencurian dan perdagangan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, dan penguasaan kawasan hutan secara illegal yang telah merugikan negara ratusan triliun rupiah," ujarnya.