REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Peternak ayam petelur di Kabupaten Cirebon sedikit dihantui kekhawatiran menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015 mendatang. Mereka takut mengalami kebangkrutan, karena tidak dapat bersaing dengan investor asing berskala besar.
"Kami jelas kalah segala-galanya dari mereka," ujar Ketua Paguyuban Peternak Ayam Petelur 'Mitra Mandiri' Kabupaten Cirebon, Engkos Kosasih, Selasa (28/10).
Engkos mencontohkan, dari segi permodalan, para investor asing memiliki modal yang besar. Sedangkan peternak lokal, memperoleh modal dari meminjam ke bank, dengan suku bunga yang cukup tinggi dan harus dibayar setiap bulan.
Selain itu, peternakan yang dijalankan para investor asing bergerak dari hulu sampai hilir. Karenanya, mereka bisa memproduksi pakan ternak ayam sendiri.
"Sedangkan kami harus membeli pakan pabrikan dengan harga yang mahal," kata Engkos.
Engkos menambahkan, dari segi produksi, peternakan yang didirikan investor asing mampu memelihara jutaan ekor ayam dengan produksi telur ayam mencapai 80 ton hingga ratusan ton per hari. Sedangkan peternak lokal, rata-rata hanya memelihara 2.000 - 2.500 ekor ayam dengan produksi telur ayam sebanyak tiga sampai lima kuintal per hari.
"Dengan semua keunggulan itu, mereka (investor asing) bisa mengendalikan harga telur ayam di pasaran," tutur Engkos.
Tak hanya itu, tambah Engkos, ayam-ayam afkiran yang sudah berumur tua juga hanya bisa dijual oleh peternak ayam petelur dengan harga rendah. Sedangkan saat kembali membeli bibit ayam baru, para peternak harus membayar dengan harga mahal.
Engkos mengakui, para investor asing membawa modal dari luar negeri ke Indonesia. Namun, jika pemerintah tidak melindungi para peternak ayam petelur lokal, maka keberadaan investor asing akan membuat para peternak ayam petelur terancam gulung tikar.