REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 15 menteri berlatar belakang politisi dalam Kabinet Kerja merupakan pengurus partai politik. Presiden Joko Widodo harus memaksa menteri-menteri itu meninggalkan jabatan di partai.
Koordinator Bidang Hukum dan Pengawasan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, Jokowi harus membuktikan janji bahwa para menteri dalam kabinetnya tidak boleh merangkap jabatan di partai politik.
"Jokowi tidak lupa dengan janji itu dan kalau perlu memaksa mereka mundur dari jabatan di parpol," kata Emerson di Jakarta, Senin (27/10).
Emerson mengatakan keputusan mundur dari parpol sangat penting untuk kepastian tidak adanya tekanan politik dalam pemerintahan lima tahun mendatang. Menteri yang rangkap jabatan di parpol berpotensi memiliki konflik kepentingan. "Yang mundur saja masih ada konflik kepentingan, apalagi kalau tidak mundur," katanya.
Menteri yang berasal dari partai politik, yaitu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edy Purdjianto (Partai Nasdem), Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani (PDI Perjuangan), Menteri Dalam Negeri: Tjahjo Kumolo (PDI Perjuangan).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly (PDI Perjuangan), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Yuddy Chrisnandi (Partai Hanura), Menteri BUMN Rini M Soemarno (PDI Perjuangan), Menteri Koperasi dan UMKM AAGN Puspayoga (PDI Perjuangan).
Menteri Perindustrian Saleh Husin (Partai Hanura), Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri (PKB), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (Partai Nasdem), Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan (Partai Nasdem).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (PPP), Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (PKB), Menteri Pemuda dan Olahraga: Imam Nahrawi (PKB), Menteri PDT dan Transmigrasi Marwan Jafar (PKB).