Selasa 28 Oct 2014 06:00 WIB

Pemimpin Baru, Harapan Baru

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dengan usainya pelantikan JJ (Jokowi-JK) sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober pekan lalu, Resonansi ini belum berani mengatakan bahwa Indonesia sedang memasuki era baru yang lain sama sekali dengan era sebelumnya yang propasar. Yang mungkin aman untuk dituliskan adalah kita telah punya pemimpin baru dengan harapan baru yang sangat tinggi dari masyarakat luas terhadap JJ ini.

Apakah Indonesia sedang menapaki era baru yang benar-benar prorakyat seperti yang dijanjikan? Bulan-bulan mendatang yang akan memberikan jawaban. Tidak jarang berlaku dalam sejarah modern Indonesia, pergantian rezim dielukan, tetapi karena gagal memenuhi janji untuk kepentingan rakyat banyak, lalu dihujat seperti tidak punya jasa sama sekali.

Tuan dan puan jangan mengira bahwa rakyat Indonesia itu selalu ramah dan sopan terhadap pemimpinnya. Mereka bisa beringas, anarkistis, dengan membakar bangunan-bangunan milik negara yang dengan susah payah dirancang dan didirikan.

Oleh sebab itu, di awal masa jabatannya JJ perlu sangat hati-hati sambil banyak merenung, membaca sejarah bangsa secara mendalam, jangan sampai terlena oleh antusiasme sambutan rakyat yang luar biasa terhadapnya, hampir di seluruh nusantara. Jika harapan tinggi ini dijawab dengan program-program konkret yang langsung menyentuh nasib akar rumput, maka boleh jadi era baru itu bukanlah sebuah mimpi. Jangan sampai kultur amnesia (biasa lupa) rakyat Indonesia dijadikan perisai untuk tidak menepati janji.

Menurut agama, janji itu adalah utang yang wajib dibayar. Janji-janji kemerdekaan telah kita dengar sejak jauh tahun 1945, tetapi baru sebagian yang sudah ditunaikan. Janji bagi pemerataan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia masih merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar dan menantang bagi JJ untuk diwujudkan lima tahun ke depan. Sesuatu yang berat, tetapi sungguh mulia. Itulah tujuan utama kemerdekaan bangsa, tetapi itu pulalah yang telantar selama sekian dasawarsa.

Awal jabatan JJ dihadapkan pada APBN yang defisit yang serius. Salah satu cara untuk sedikit mengatasinya ialah dengan menaikkan harga BBM bulan depan. Gejolak pasti terjadi, tetapi jika dijelaskan dengan baik dan jujur, rakyat akan paham mengapa harus menempuh cara yang tidak populer itu.

Untuk tahun-tahun ke depan, dengan dibenahinya secara sungguh-sungguh dan berani sistem perpajakan, imigrasi, pelabuhan, BUMN/BUMD, migas, dan ranah-ranah lain yang sarat korupsi yang menjadi sumber pundi-pundi negara selama ini, maka hantu defisit itu akan dapat dikurangi, jika bukan dihalau sama sekali.

Pemimpin sejati bukanlah yang piawai menjual tampang, tetapi yang siap berdarah-darah membenahi sistem birokrasi kenegaraan yang telanjur rusak dalam pertarungan untuk membela kepentingan rakyat. Saat tulisan ini dirancang, saya belum tahu apakah para menteri dalam kabinet JJ adalah para patriot-petarung, sosok pejabat publik yang sangat kita perlukan saat ini.

Hal ini menjadi ujian penting dan utama bagi JJ dalam masa kepemimpinannya. Adapun DPR yang mungkin saja siap menggertak, tidak perlu terlalu dirisaukan, manakala komitmen untuk membela rakyat banyak tidak goyah oleh angan limbubu manapun.

Adanya kekhawatiran akan munculnya dua matahari dalam kepemimpinan JJ, saya tidak melihat kemungkinan itu. Kepada JK pernah saya sampaikan agar memahami filsafat huruf Jawa: jika dipangku mati. JK dengan cepat menangkis, “Saya sudah baca 10 buku tentang kultur Jawa.”

Dengan modal pemahaman subkultur yang sangat kaya, tetapi ruwet ini, kita berharap kepemimpinan nasional di bawah JJ akan saling melengkapi dan saling mengisi. Adalah Jokowi yang dengan tangkas menjawab saat ditanyakan tentang semboyan JK, makin cepat makin baik. “Saya akan lebih cepat lagi.”

Jawaban spontan ini mengisyaratkan bahwa kecemasan akan terbitnya matahari kembar kepemimpinan harus dibuang jauh-jauh. Dalam filsafat Sumpah Pemuda, Jawa dan Bugis adalah satu belaka dalam bingkai keindonesiaan yang utuh dan padu.

Harapan baru harus secepatnya diwujudkan menjadi era baru, di mana demokrasi menjadi pilar utama untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk menipu rakyat. Semoga! (Ditulis seminggu sebelum kabinet dilantik)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement