REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibu kota merupakan salah satu sasaran para perantau "mengadu nasib". Berbekal niat yang sama, yakni ingin berada di kondisi yang lebih baik dari pada hari ini, para perantau bergerak dengan atau tanpa bekal dan sejumlah persiapan. Namun, bekal yang sama tak menjamin mereka meraih keberhasilan yang sama. Sebab yang membedakan mereka adalah kesungguhan hati untuk meraih perubahan yang baik itu.
"Kunci merantau adalah kesungguhan, man jada wa jada," kata penulis novel "Negeri Lima Menara" sekaligus salah satu pembicara seminar Panggung Inspirasi, A. fuadi, kepada ROL, Ahad (26/10). Ia menegaskan, merantau sangat penting sebagaimana pentingnya seorang Muslim mencontoh Rasulullah Saw. berhijrah.
Merantau, lanjut dia, tidak mesti ke kota besar. Masyarakat harus dipahamkan, bahwa merantau sejatinya ialahpindah ke tempat yang lebih baik untuk pulang kembali dan membawa hal baik untuk kampung halaman yang sempat ditinggalkan.
Maka, lanjut dia, tak ada yang salah dengan kegiatan merantau. Justru dengan begitu, seseorang dapat tahu apakah langkahnya keluar dari zona nyaman sudah benar atau salah. "Salah atau benar, harus dicoba," tuturnya. Ketidakpastian dalam merantau, lanjut dia, itulah nikmat yang unik dan nantinya akan menghebatkan pelakunya.
Hal tersebut logis. Karena dengan merantau, kesempatan baru akan terbuka lebar. Diuraikannya, kesempatan tersebut misalnya mengenal wilayah lain, mengenal banyak orang serta segala kesempatan lain yang tidak pernah kita tahu kalau tidak melakukan rantau.
"Dengan niat yang bagus, berserah diri kepada Allah, tidak perlu takut, karena dari merantau kita akan mendapatkan yang lebih baik dari yang kita tinggalkan," katanya.