REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--President Director PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Albert Simanjuntak dan Managing Director Chevron Indonesia Chuck Taylor kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap terdakwa kasus bioremediasi karyawan perusahaan migas itu, Bachtiar Abdul Fatah.
"Kami menghargai lembaga peradilan Indonesia dan telah mendukung karyawan kami dalam proses hukum ini," kata Albert Simanjuntak lewat pesan elektronik yang diterima, Rabu malam.
Ia menambahkan "kami belum dapat melakukan analisis menyeluruh terhadap putusan kasasi ini namun kami sangat kecewa dengan putusan yang menyatakan bahwa Bachtiar Abdul Fatah terbukti bersalah dan menghukumnya dengan 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta."
"Hati dan pikiran kami bagi Bachtiar dan keluarganya yang sedang mengalami masa sulit ini," ujar Albert dalam pernyataan bersama korporasi sebagai tanggapan atas putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap karyawan CPI, Bachtiar Abdul Fatah.
Ia mengatakan pihaknya tetap yakin bahwa tidak ada bukti yang kredibel soal korupsi, tindakan kriminal ataupun keuntungan pribadi yang dilakukan oleh Bachtiar dan karyawan-karyawan CPI dalam proyek bioremediasi ini.
Albert mengatakan Chevron telah menanggung semua biaya proyek ini dan tidak ada penggantian dari pemerintah Indonesia. Jadi, tidak ada kerugian negara yang terkait proyek ini yang menjadi alasan tuduhan adanya kerugian negara.
"Kami percaya bahwa Bachtiar sangat kompeten serta berpengalaman dan dia melakukan tugasnya secara baik dan benar guna membantu kepatuhan perusahaan terhadap peraturan lingkungan," katanya.
Proyek bioremediasi, menurutnya, telah dijalankan dengan menggunakan teknologi yang telah dipakai secara luas di industri dan telah disetujui dan diawasi oleh pihak pemerintah yang berwenang.
"Kami akan terus mendukung upaya Bachtiar untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan memastikan hak hukum dan asasinya dilindungi," kata Albert.
Jika pemerintah memiliki pertanyaan seputar pelaksanaan proyek, katanya, CPI dengan hormat meminta Pemerintah Indonesia untuk menerapkan mekanisme penyelesaian perdata sesuai dengan kontrak PSC.
"Kami tetap percaya bahwa kasus ini bukanlah kasus pidana," katanya lagi.
CPI dan seluruh karyawan, kata Albert, tetap berkomitmen atas kemitraan jangka panjang dengan Pemerintah Indonesia dan memastikan integritas dan reliabilitas operasi untuk menghasilkan energi yang selamat, efisien dan efektif bagi negara.
"Kami bangga atas komitmen kami untuk kinerja unggul serta melindungi orang dan lingkungan," katanya.
Sejak awal perkara bioremediasi telah banyak kejanggalan hukum, salah satunya proses penetapan tersangka yang super cepat.
Perkara ini mulai bergulir awal Maret 2012, saat Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus mulai melakukan penyidikan, dimana hanya berselang beberapa hari saja pada 12 Maret, Direktur Penyidikan sudah mengeluarkan Sprindik dengan tersangka Ricksy Prematuri dan General Manager Sumatera Light North Operation, Alexia Tirtawidjaja.
Perkara ini kemudian menyeret karyawan CPI lainnya yakni Kukuh Kertasafari, Widodo dan Endah Rumbiyanti, serta seorang kontraktor lain atas nama Herlan bin Ompo selaku Direktur PT Sumigita Jaya dan Bachtiar Abdul Fatah, seluruhnya telah menjalani sidang vonis.
Kasus ini diduga dilapokan Edison Effendi, mantan dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang pernah beberapa kali mengikuti tender proyek bioremediasi di CPI tetapi kalah.
Anehnya, Edison kemudian justru diangkat sebagai ahli yang digunakan jaksa untuk mengambil sampel tanah tercemar di area Chevron yang kemudian digunakan untuk menyusun dakwaan dalam kasus ini.