REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku pasar diperkirakan menantikan dua kebijakan Presiden Joko Widodo dalam waktu dekat, yakni menaikkan harga BBM bersubsidi untuk memperbaiki ruang fiskal, dan mengkaji ulang regulasi larangan ekspor mineral mentah agar menurunkan defisit neraca transaksi berjalan.
Jika harga BBM dinaikkan, diperkirakan Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin, menjadi delapan persen, dari 7,5 persen saat ini, untuk meredam inflasi, kata Ekonom senior Bank Standard Chartered Fauzi Ichsan di Jakarta, Rabu (22/10).
"Penghematan dari naikkan BBM itu bisa dialokasikan ke belanja infrastruktur yang sangat dinanti investor," ujar dia.
Sedangkan, pengkajian ulang larangan ekspor konsentrat, ujar Fauzi, karena sepanjang 2014, larangan itu telah membuat defisit neraca transaksi berjalan semakin melebar. Pada kuartal II, defisit transaksi berjalan mencapai 4,27 persen dari Produk Domestik Bruto.
Menurut dia, setelah larangan ekspor bahan mentah itu diberlakukan pada awal 2014, telah terjadi penurunan ekspor enam miliar dollar AS.
Jika kebijakan itu "dilunakkan", kata Fauzi, ditambah pengurangan subsidi energi, defisit neraca transaksi berjalan yang, menurut dia, sebesar 25 miliar dollar AS pada tahun ini dapat turun menjadi 15 miliar dollar AS, pada semester II 2015.
"Itu memang pil pahit, tapi memang dampaknya akan mulai terasa pada semester II 2015," ujarnya.
Mengenai sisi fiskal, Fauzi meyakini, jika Jokowi menaikkan harga BBM dengan rentang Rp3000, penghematan anggarannya dapat dialokasikan ke belanja modal untuk sektor produktif di 2015.
Fauzi menjelaskan, kebijakan soal subsidi BBM dan larangan ekspor, --yang akan diantisipasi dengan kebijakan suku bunga--, sangat penting untuk memelihara kepercayaan pasar, terutama menghadapi normalisasi ekonomi Amerika Serikat.
Kebijakan normalisasi sudah dimulai dengan penghentian stimulus yang digelontorkan AS. Selanjutnya, pada kuartal II 2015, Bank Sentral AS, The Fed, diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan, dari 0,25 persen hingga 1 persen, sehingga ada potensi pembalikkan arus modal dari Indonesia.
Dua kebijakan Jokowi yang diharapkan pasar itu, diharapkan dapat memelihara kepercayaan investor, sehingga pembalikkan modal tidak terlalu besar. Selain itu, dampaknya adalah stabilitas ekonomi yang kuat karena secara fundamental, ekonomi Indonesia semakin baik dengan perbaikan ruang fiskal dan neraca transaksi berjalan.
Fauzi memperkirakan, dengan kenaikan BBM, dan pengetatan likuiditas oleh BI, pertumbuhan ekonomi memang akan melambat pada semester I 2015, atau hanya mencapai lima persen. Namun, dampak positif kebijakan Jokowi tersebut akan terasa di semester II 2015.
"Pertumbuhan ekonomi akan mulai ekspansif di semester II," ujarnya.
Amunisi BI
Selain itu, Fauzi memperkirakan, dengan kenaikkan BBM pada 2014, --yang dinilai mampu mereformasi struktural--, kepercayaan investor akan terus meningkat terhadap kondisi pasar di Indonesia. Alhasil, pasar surat utang, obligasi, dan saham akan terus atraktif.
Dengan begitu, nilai tukar rupiah diperkirakan akan menguat, di level Rp11.700. Jika skenario tersebut terjadi, kata Fauzi, BI memiliki amunisi untuk tidak menaikkan BI Rate pada 2014. BI cukup menaikkan BI rate pada saat The Fed menaikkan suku bunga acuannya, untuk menjaga dana asing.
"Jadi sebenarnya BI punya amunisi untuk naikkan 100 basis poin, satu untuk BBM naik, satu lagi saat 'Fed Fund Rate' naik," ujarnya.
"Tapi jika rupiah menguat, BI pada 2014 tidak perlu naikkan BI Rate, cukup 2015 saja," tambahnya.