Rabu 22 Oct 2014 16:55 WIB

Ini Alasan Mengapa Harus Hati-Hati Makan Gorengan

Rep: C85/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Tukang penjual makanan gorengan, ilustrasi
Foto: Republika
Tukang penjual makanan gorengan, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survey yang dilakukan oleh Lila Muliani dari Sinarmas Agri (PT. Smart) terhadap 100 responden berusia 24 hingga 45 tahun yang tinggal di Jabodetabek.

"Dari sepuluh pilihan menu yang disodorkan, masakan yang digoreng masih paling favorit," ujar Lila Muliani dalam orasi ilmiah yang dia sampaikan. Sepuluh menu yang ditawarkan juga termasuk bebrapa jenis masakan yang berbahan dasar sayuran.

Dia juga menambahkan, hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat masih memilih makanan berat; seperti nasi uduk, nasi goreng, atau bubur; untuk menu sarapan mereka. Untuk menu gorengan, responden masih memfavoritkan ayam goreng, ikan goreng, tempe, dan tahu goreng. (Baca: Duh, Warga Jabodetabek Doyan 'Banget' Gorengan)

Dr Marzuki, seorang ahli gizi dari Poltekkes Jakarta mengungkapkan bahwa masyarakat jabodetabek harus berhati-hati makan gorengan. "Gorengan itu kan dimasak dengan digoreng. Untuk menggoreng butuh suhu tinggi, yang bisa menghasilkan peroksida," ujarnya kepada ROL.

Senyawa Peroksida ini, lanjut Marzuki, bila dibiarkan terpapar suhu tinggi dalam waktu yang lama dapat berubah menjadi karsinogen. Karsinogen ini lah yang bila dikonsumsi sangat berbahaya bagi kesehatan. "Risiko kanker meningkat bagi siapapun yang mengonsumsinya," ujarnya.

Untuk itu Marzuki mengingatkan kepada konsumen agar berhati-hati dalam pemanfaatan minyak goreng. Berdasarkan penjelasannya, minyak goreng hanya boleh digunakan untuk 2 sampai 3 kali penggorengan. "Selebihnya tidak sehat," jelasnya.

Demikian juga dengan konsumsi makanan berminyak yang idealnya hanya dilakukan dua kali dalam seminggu. Marzuki menyarankan agar masyarakat mulai beralih kepada metode memasak tanpa minyak seperti mengukus atau merebus.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa total konsumsi rata-rata masyarakat Jabodetabek masih di atas kebutuhan kalori harian yang disarankan (AKG, 2013). "Kebutuhan kalori harian manusia normal, rata-rata 2000 kilo kalori," ujar Marzuki.

Meskipun lemak memang dibutuhkan oleh tubuh untuk sumber energi dan fungsi biologis dari tubuh, Marzuki mengingatkan untuk tetap membatasi jumlah lemak yang dikonsumsi. "Masyarakat harus diberikan pendidikan kesehatan terkait kebutuhan gizi harian. Ilmu diet ini demi membangun manusia Indonesia yang sehat," jelasnya.

Kebutuhan lemak yang baik, menurut Marzuki, dapat diperoleh dari ikan. "Jadi tidak harus makanan berlemak yang enak-enak, tapi malah sakit-sakitan di kemudian hari," lanjutnya.

Kebutuhan gizi seimbang adalah proporsi diet yang tepat. Rasionya antara lain 50 persen karbohidrat, 30 persen protein, dan 20 persen lemak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement