Senin 20 Oct 2014 22:20 WIB

Harga Telur Anjlok, Peternak Cirebon Terancam Gulung Tikar

Rep: Lilis Handayani/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pedagang Telur
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Pedagang Telur

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Para peternak telur ayam di Kabupaten Cirebon terancam gulung tikar. Hal itu menyusul anjloknya harga telur ayam di tingkat peternak. Permainan investor asing dan besar ditengarai menjadi penyebab kondisi tersebut.

 

"Peternak sekarang pada menjerit,’’ ujar Ketua Paguyuban Peternak ayam Petelur ‘Mitra Mandiri’ Kabupaten Cirebon, Engkos Kosasih, kepada Republika, Senin (20/10).

 

Engkos mneyebutkan, harga telur ayam di tingkat peternak saat ini berkisar antara Rp 14 ribu – Rp 15 ribu per kg. Menurutnya, kisaran harga tersebut lebih rendah dibandingkan break even point (BEP) atau modal kembali. "Jadi jangankan dapat untung, BEP pun tidak tercapai,’’ kata Engkos.

 

Engkos menjelaskan, untuk mencapai BEP, maka harga telur ayam semestinya minimal Rp 15.000 per kg. Sedangkan untuk memperoleh keuntungan, maka idealnya harga telur ayam mencapai 3,5 X harga pakan ayam. Saat ini, harga pakan ayam mencapai Rp 4.800 – Rp 5.000 per kg.

 

Engkos mengungkapkan, anjloknya harga telur ayam itu disebabkan banyaknya investor besar dan asing yang bermain dalam bidang tersebut. Menurutnya, investor besar dan asing tersebut bahkan menguasai bidang peternakan dari hulu hingga hilir. Akibatnya, peternak kecil tidak bisa bersaing.

 

Engkos mencontohkan, dari segi produksi, peternak kecil hanya mampu memelihara 2.000 – 2.500 ekor ayam, dengan produksi telur sebanyak tiga kuintal – lima kuintal per hari. Sedangkan perusahaan besar dan asing, mampu memelihara jutaan ekor ayam, dengan produksi telur mencapai hingga 80 ton sampai ratusan ton per hari.

 

"Akibatnya, telur ayam yang beredar di pasaran sangat banyak,’’ kata Engkos.

 

Engkos menambahkan, dari segi pakan ayam, peternak kecil sangat bergantung pada pakan pabrikan. Sedangkan perusahaan besar dan asing, memproduksi sendiri pakan ayamnya.

 

Selain itu, lanjut Engkos, dari segi modal, para peternak kecil bergantung pada pinjaman bank, dengan suku bunga yang cukup tinggi dan harus dibayar setiap bulan. Sedangkan perusahaan besar dan asing, memiliki modal yang kuat.

 

"Jadi wajar jika akhirnya mereka (perusahaan besar dan asing) bisa menjual telur ayam dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan telur ayam yang diproduksi peternak kecil,’’ tutur Engkos.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement