REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Aktivis politik kerap bersuara tentang ‘negara tanpa pilot’. Sejatinya, ungkapan aktivis itu hanya sebatas kata kiasan kritis terhadap kepemimpinan di negeri ini.
Namun, di dunia dirgantara Indonesia, ungkapan ‘negara tanpa pilot’ bukan lagi sekadar kiasan. Sebutan ‘negara tanpa pilot’ kini mengancam Indonesia. Sebab, jumlah pilot di Indonesia masih sangat sedikit bila dibanding dengan kebutuhannya.
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Madya TNI Sunaryo mengungkapkan, Indonesia membutuhkan hingga 600 orang pilot pesawat komersial setiap tahunnya. Sedangkan, jumlah manusia yang bisa menerbangkan pesawat di langit nusantara masih bisa dihitung dengan jari.
"Saat ini, kebutuhan pilot di Indonesia masih kekurangan sekitar 500-600 pilot," kata Sunaryo.
Menurut Sunaryo, kendala Indonesia dalam menjaring pilot bukan disebabkan oleh minimnya minat. Sebaliknya, banyak minat anak bangsa yang ingin menjadi penerbang. Namun, minat itu harus pupus karena kenyataan sedikitnya sekolah pilot.
Tidak hanya itu, informasi tentang sekolah bagi pilot di Indonesia juga masih minim. Kondisi ini lantas menyebabkan sekolah penerbangan di Indonesia belum ada yang mampu memenuhi permintaan jumlah pilot dari sejumlah maskapai.
Kondisi ini, kata Sunaryo, yang akhirnya menyebabkan banyak pilot asing yang dapat kemudi di atas kursi maskapai penerbangan lokal. "Beberapa maskapai Indonesia lebih memilih jasa pilot asing," katanya.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Herry Bakti mengakui Indonesia kini ketergantungan pada pilot asing. Ini karena Indonesia kekurangan sumber daya manusia (SDM) pilot lokal yang mumpuni.
Ketergantungan Indonesia terhadap pilot asing tergambar nyata di kawasan Indonesia timur. Di wilayah yang meliputi Papua, misalnya, pesawat berukuran kecil menjadi salah satu alat transportasi utama warga.
Namun, rata-rata pilot yang menerbangkan alat transportasi utama itu bukanlah dari Indonesia. Sebaliknya, pilot asal Australia dan Selandia Baru yang kerap menguasai jalur udara di timur Indonesia itu.
Herry mengatakan, dari Sabang sampai Merauke, Indonesia baru memiliki 18 sekolah penerbangan. Dari 18 sekolah itu, hanya dihasilkan 250 lulusan pilot setiap tahunnya. "Jumlah ini belum seimbang dengan kebutuhan pilot di Indonesia yang mencapai 500 pilot setiap tahun," ujarnya.
Dia berharap, ke depannya makin banyak sekolah penerbangan dibuka di Indonesia. "Dibukanya sekolah penerbangan adalah langkah positif meningkatkan SDM penerbangan, sekaligus inventarisasi kesiapan menghadapi tantangan ke depan," kata Herry.
Dengan peningkatan jumlah sekolah penerbangan, cita-cita untuk melihat langit nusantara dikuasai anak Indonesia bisa segera tercapai. Bila hal itu mampu tercapai, sebutan ‘negara tanpa pilot’ pada akhirnya tetap sebatas kiasan.
"Ketergantungan terhadap pilot asing harus dikurangi. Kita harus memiliki pilot-pilot dari anak bangsa sendiri," tegas Herry.
Terkait hal ini, CEO Citilink Arif Wibowo, mengaku saat ini ada 38 pilot asing di Citilink. Ke depannya Citilink hanya akan merekrut pilot berkebangsaan Indonesia saja. Karenanya Citilink akan aktif jemput bola. Salah satunya dengan menjalin kerja sama dengan sejumlah sekolah penerbangan di Indonesia. "Semua pilot Citilink dari lokal semua nanti," tegas Arif.
Langkah ini diakuinya sebagai pembuktian bahwa Citilink sebagai maskapai nasional akan mendorong putra bangsa untuk menguasai jalur udara di langit Nusantara. "Kita perusahaan nasional harus mendorong tenaga kerja nasional," papar Arif.