Jumat 10 Oct 2014 01:32 WIB

Kata Wamentan, Bicara Swasembada tak Relevan Lagi, Kok?

Rusman Heriawan
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Rusman Heriawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Rusman Heriawan menilai saat ini sudah tidak relevan lagi berbicara mengenai swasembada, terutama untuk komoditas beras, tetapi saatnya memfokuskan pada kualitas untuk pemerintahan ke depannya.

"Sebenarnya bicara swasembada atau tidak sudah tidak relevan karena kita tidak perlu impor untuk beras. Kalaupun ada impor itu beras-beras khusus bukan prioritas," kata Rusman pada ajang Kemilau Daya Saing Produk Pertanian memperingati Bulan Mutu Pertanian 2014 "Pemenuhan Standar Produk Pertanian Memenangkan Pasar Bebas ASEAN" di Jakarta, Kamis.

Rusman mencontohkan, beras yang masih diimpor, yakni beras ketan, beras menir, beras Thailand, beras Jepang (Japonica) dan beras untuk diet.

Dia mengakui selama lima, bahkan 10 tahun ke belakang, pemerintah terlalu berfokus pada pemenuhan volume, bukan pada kualitas.

"Kami di Kementan, merasa momentum ini agak terlambat, yakni berfokus bagaimana memenuhi kuantitas atau volume, bagaimana swasembada, kita tidak peduli caranya yang mungkin kurang menerapkan 'good agriculture practices'," katanya.

Rusman mengatakan hipotesis produktivitas dan kualitas itu paralel, bukan bertolak belakang.

"Hipotesis ini yang salah, kalau kita mau mengembangkan kualitas, harus mengurangi produktivitasnya, kalau mau mutu yang dikedepankan, produktivitasnya harus dikurangi," katanya.

Dia mengimbau ke depannya agar pola pikir petani dan pengusaha berfokus pada kualitas, namun tidak mengabaikan produktivitas.

"Swasembada harus 'standing' (dipertahankan), untuk beras yang sudah melewati level itu, mari kita melangkah lebih jauh ke standar pemenuhan kualitas, hingga ke tingkat ke penerimaan di masyarakat," katanya.

Menurut Rusman, kualitas merupakan tolok ukur daya saing sebuah produk, jika tidak memenuhi standar, maka tidak akan bisa bersaing.

"Dulu mutu itu belakangan, tetapi saat ini lahan semakin sempit, kesadaran ini munculnya belakangan. Jika kita tidak bisa memenuhi standar, tidak bisa bersaing apalagi dengan produk luar," katanya.

Untuk itu, dia mengatakan untuk pemenuhan volume lebih kepada pemerintah dan petani, tetapi untuk pemenuhan kualitas, seperti beras organik, lebih kepada pemerintah dan pengusaha yang berhubungan langsung dengan konsumen dan membaca seleranya.

Selain itu, Rusman mengatakan diperlukan standardisasi untuk menjamin kualitas terbaik dari suatu produk.

Melalui Badan Standardidasi Nasional, lanjut dia, seharusnya berpartisipasi aktif terjun ke lapangan untuk memastikan produk-produk yang perlu dilabeli memenuhi standar.

"Jangan ke lapangan hanya ketika diminta saja, lebih proaktif di hulunya bukan di hilirnya," katanya.

Dalam kesempatan sama, Kepala BSN Bambang Prasetnya mengatakan pihaknya akan melakukan pembinaan bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan akan memberikan fasilitas dalam standardisasi produk.

"Nanti 2015 awal MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), kita akan melakukan pendampingan kepada sejumlah UMKM yang tidak mampu," katanya.

Bahkan, lanjut dia, pihaknya sedang berupaya untuk menggratiskan standardisasi bagi produk UMKM sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

Bambang menambahkan setelah dirancang PP dari UU tersebut, akan dibuat mekanisme syarat-syarat bagi UMKM tersebut untuk mendapatkan fasilitas pelabelan gratis.

Pasalnya, biaya untuk pelabelan standar suatu produk dari Rp10-Rp25 juta.

"Nanti kita atur apakah bisa dimasukan untuk satu klaster untuk beberapa produk, jadinya efisien," katanya.

Dengan adanya pelabelan standar mutu, lanjut dia, produk tersebut bisa diterima di negara-negara, terutama Asia untuk siap bersaing di MEA 2015.

"Saya optimistis dengan produk-produk kita yang bagus dan kita punya 1.200 lembaga pelabelan standar di Indonesia, kita siap bersaing di MEA," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement