Kamis 09 Oct 2014 16:03 WIB

Rektor UIN Yogya: Jokowi, Revolusi Mental Jangan Cuma Slogan

Rep: Heri Purwata/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Jokowi dan Jusuf Kalla di Rumah Transisi, Jakarta Pusat, Ahad (28/9) malam WIB.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Jokowi dan Jusuf Kalla di Rumah Transisi, Jakarta Pusat, Ahad (28/9) malam WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Musa As’arie mengatakan institusi akademik memiliki kewajiban memberikan kontribusi aktif dalam menemukan solusi yang sistematis terhadap berbagai permasalahan bangsa. Salah satunya, ‘revolusi mental’ yang dicanangkan presiden terpilih Joko Widodo jangan hanya menjadi slogan

Musa As’arie mengemukakan hal itu kepada ROL di sela-sela seminar dan lokakarya ‘Revolusi Mental dan Pembangunan Nasional Perspektif Ideologis dan Implementasi Praktis Menuju Indonesia Hebat’ di Yogyakarta, Kamis (9/10). UIN sebagai institusi akademik harus  ikut mencari solusi untuk menemukan langkah-langkah pengimplementasiannya.

Dijelaskan Musa, ketika Joko Widodo mencetuskan tentang revolusi mental, cukup sulit untuk menerapkan dunia nyata pada berbagai aspek pembangunan bangsa. Karena itu, Musa mengharapkan agar konsep revolusi mental tersebut tidak hanya menjadi konsep di langit saja, tetapi bisa menjadi konsep yang membumi.

“Misalnya, apakah revolusi mental di bidang ekonomi bisa membawa rakyat sejahtera, kesenjangan kaya dan miskin bisa dipersempit, dan korupsi semakin mengecil. Itu tujuan revolusi mental,” kata Musa.

Selain itu, lanjut Musa, bagaimana revolusi mental itu berpengaruh terhadap pembangunan politik. Seperti diketahui saat ini pembangunan politik Indonesia tidak lagi menempatkan hati nurani moral sebagai unsur utama dalam politik.

Sebab unsur utama politik adalah kekuasaan yang sering direbut dengan segala cara. “Dalam kondisi politk Negara yang sudah begitu rusaknya, bisa tidak revolusi mental itu menyelesaikannya,” tandasnya.

Kemudian dalam pembangunan agama, saat ini banyak sekali korupsi justru dilakukan tokoh-tokoh lembaga-lembaga agama. Banyak juga kekerasan di masyarakat yang mengatasnamakan agama. “Bisa tidak revolusi di bidang agama membuat kerukunan beragama itu menjadi produktif, memperkuat persatuan, bisa meningkatkan rasa hormat bila terjadi perbedaan,” katanya.

Pemerintahan Joko Widodo yang sudah mencetuskan revolusi mental harus bisa menjabarkan di semua aspek kehidupan. Sehingga ke depan aspek kehidupan masyarakat itu berubah menjadi lebih baik, makin sejahtera, dan semakin adil. “Lalu standarnya seperti apa?” tanyanya.

Karena itu, diskusi ini membahas langkah-langkah strategic apa yang bisa mengimplementasikan revolusi mental ini. Sehingga langkah-langkah tersebut bisa mengubah mental birokrat yang akan mewujudkan pembangunan lebih baik.

“Perguruan tinggi tidak boleh tutup mata terhadap persoalan ini. Ini tidak ada hubungannya dengan ingin mendapatkan kekuasaan. Tidak ada maksud itu. Kalau perguruan tinggi tidak mau memikirkan hal ini, siapa yang mau memikirkan. Karena itu, perguruan tinggi tidak boleh menjadi menara gading, harus berbicara untuk memberikan solusi persoalan bangsa,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement