REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Keluarga korban pembunuhan dan mutilasi mengamuk di Pengadilan Tinggi Riau, di Pekanbaru, Rabu untuk memprotes putusan hakim yang membebaskan salah satu pelaku berinisial DP, yang masih di bawah umur, pada tingkat banding.
Alimina Gule, ibu dari korban berinisial FM, dan Dahnan Gea ayah dari korban berinisial MG, bersama puluhan kerabat korban awalnya datang dengan tertib ke gedung Pengadilan Tinggi Riau di Jalan Jenderal Sudirman. Alimina mengatakan kedatangannya untuk meminta kejelasan dari Pengadilan Tinggi Riau atas putusan bebas DP, yang sebelumnya divonis 10 tahun di Pengadilan Negeri Siak.
Ia mengaku terkejut melihat DP masih berkeliaran di sekitar lingkungan tempat tinggalnya belum lama ini. Menurut dia, pihak keluarga baru mengetahui bahwa DP diputus bebas pada tingkat banding ketika menanyakannya ke Pengadilan Negeri Siak.
"Tidak terima aku, kenapa sudah divonis 10 tahun kok bisa bebas. Panas telinga aku mendengarnya," ujarnya.
Niatan untuk bertemu langsung dengan Kepala Pengadilan Tinggi Riau, Yohannes Ether SH MHum, tidak terwujud karena kepala pengadilan tidak bersedia menemui keluarga korban.
Pihak keluarga diminta untuk menemui hakim yang juga merangkap Humas Pengadilan Tinggi Riau. Mendengar hal tersebut, keluarga korban naik pitam dan langsung merangsek masuk ke ruang kerja Yohannes Ether sambil berteriak-teriak, namun untungnya situasi masih bisa dikendalikan oleh pegawai setempat.
Pihak keluarga akhirnya diterima oleh Humas Pengadilan Tinggi Riau, Tani Ginting dan Dasril di ruang sidang lantai satu. Tani Ginting mengatakan pada sidang tanggal 22 September 2014, Majelis Hakim yang terdiri dari Parlindungan Napitupulu, Yulisman dan Bety Aritonang, mengeluarkan putusan bebas terhadap DP.
Hanya saja, penjelasan Tani Ginting dinilai terlalu berbelit-belit dan tidak bisa memenuhi permintaan keluarga korban yang meminta penjelasan perihal pertimbangan majelis hakim yang memutuskan DP tidak bersalah. Tani Ginting hanya mengatakan, berdasarkan informasi dari hakim kasus tersebut, seluruh dakwaan terhadap DP tidak terbukti.
"Kami tidak bisa mencampuri, itulah asas praduga tak bersalah dan itulah independensi hakim. Jadi yang bertanggung jawab adalah hakimnya sendiri di dunia dan akhirat. Saya selaku hakim, bahkan ketua pengadilan tinggi sekalipun, tidak bisa mencampuri putusan hakim," katanya.
Karena itu, Tani Ginting meminta pihak keluarga untuk menunggu putusan kasasi yang sedang diajukan oleh Jaksa Kejaksaan Negeri Siak di Mahkamah Agung, karena belum tentu hasil putusan kasasi akan sama dengan putusan banding.
Terus mengamuk
Alimina Gule setelah mendengar penjelasan Tani Ginting langsung berdiri dari kursinya dan menghampiri meja dimana Hakim Tani Ginting dan Dasril berada. Ibu korban tersebut langsung mengamuk dengan memukul meja sambil menangis.
"Kenapa bapak tidak terus terang saja. Apa di Indonesia ini tidak ada hukum ya," teriak Alimina sambil menangis.
Tani Ginting dan Dasril hanya bisa terdiam dikerumini oleh keluarga korban, sedangkan Alimina terus berteriak-teriak meluapkan kekeceweaannya. "Saya rela mati demi keadilan untuk anak saya," katanya sambil menggebrak meja.
Kerabat dari korban lainnya, Faozisokhi Hia, mengatakan pihak keluarga hanya meminta penjelasan yang bisa diterima apabila DP memang terbukti tidak bersalah. Sebab, ia mengatakan sangat berat beban emosional keluarga melihat DP kini bebas berkeliaran.
"Keluarga merasa hati ini tersayat sayat dan kecewa. Kehadiran kami disini adalah keluarga pencari keadilan, karena anak kami dibunuh, dimutilasi dan dijual dagingnya ke kedai tuak. Kalau anak bapak seperti itu, apa perasaan bapak," kata Faozisokhi.
Ia meminta hakim di Pengadilan Tinggi Riau menggunakan nurani untuk memahami posisi keluarga korban dengan memberikan penjelasan perihal pertimbangan putusan bebas tersebut. Hal itu untuk menghindari agar jangan sampai keluarga korban yang tidak terima melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku yang kini bebas.
"Kalau ada novum atau bukti-bukti baru sehingga ini bebas, tolong tunjukan sehingga kami bisa terima bahwa dia (DP) layak bebas. Jangan sampai pihak keluarga merasa hakim main mata dalam kasus ini, karena kalau memang begitu bisa hukum rimba nanti yang berlaku," ujarnya.
Ia juga menyayangkan tidak ada niat baik dari Ketua Pengadilan Tinggi Riau Yohannes Ether untuk menemui keluarga korban dan memberi penjelasan. Padahal, pihak keluarga juga ingin menyampaikan agar pengadilan mengevaluasi kinerja hakim yang memberikan putusan bebas dalam kasus mutilasi ini.
Pihak keluarga mendesak agar Yohannes Ether menemui langsung, atau hadirkan juga hakim-hakim yang menangani kasus tersebut.
Namun, Yohannes Ether ternyata malah meninggalkan kantor Pengadilan Tinggi Riau saat pertemuan itu berlangsung.
Sebelumnya, kasus pembunuhan disertai mutilasi anak di bawah umur menggemparkan masyarakat Riau pada Agustus lalu karena korbannya mencapai tujuh orang dan dilakukan dengan sadis. Korban merupakan tetangga tersangka di Kabupaten Siak dan Bengkalis.
Dalam proses persidangan, Jaksa Penuntut Umum Kejari Siak menuntut DP dengan sembilan tahun penjara, dan vonis hakim PN Siak ternyata lebih tinggi yakni 10 tahun penjara. Dalam persidangan terungkap fakta-fakta bahwa DP ikut terlibat melakukan pembunuhan dan mutilasi terhadap korban FM yang berusia sembilan tahun.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Sorta Ria Neva menyatakan, DP ikut terlibat dalam kasus pembunuhan berencana dan mutilasi terhadap korban FM alias OV, yang berusia sembilan tahun. Hakim menyatakan DP melakukan perbuatan itu secara bersama-sama dengan tiga pelaku lainnya.
Hal yang memberatkan bagi DP adalah, dari fakta di persidangan bahwa saksi Delvi dan Supiyan menyatakan bahwa parang yang digunakan untuk membunuh korban merupakan milik DP. Fakta persidangan juga menyatakan DP ikut serta bersama pelaku lainnya ketika memasukkan potongan tubuh korban mutilasi ke dalam kantong plastik.
Selain itu, hal yang memberatkan lainnya, terdakwa DP tidak melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian, maupun kepada orang tuanya padahal memiliki cukup waktu sebelum ditangkap. Meski begitu, DP mengaku di bawah ancaman dari tersangka Delvi dan Supiyan bahwa akan dibunuh apabila kejadian tersebut dilaporkan kepada orang lain.
Dengan begitu, DP dinyatakan turut membantu dan membiarkan adanya tindak kejahatan meski tidak terlibat langsung dalam pembunuhan.