REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih segar dalam ingatan publik soal drama sidang paripurna DPR pada awal Oktober lalu. Bukan karena rangkaian adegan perdebatan antar anggota DPR, ataupun ragam interupsi yang dilontarkan sampai beberapa anggota dewan yang tak bisa duduk diam.
Publik terkesan, bahkan menyunggingkan senyum, sebab ada Popong Otje Djundjunan sebagai salah satu pemimpin sidang. Ceu Popong, sapaan akrabnya, menjadi “bintang” dalam sidang paripurna karena tingkah unik dan celotehan khas sundanya yang menuai perhatian.
Ketenaran politisi tertua di DPR periode 2014-2019 ini bahkan merambah hingga dunia maya. Di Twitter, misalnya. Tagar #saveCeuPopong sempat jadi trending topic sebab aksinya yang nyentrik. Keunikan Ceu Popong tak hanya terjadi di dunia perpolitikan Tanah Air.
Pengalaman religinya pun tak kalah unik. Kepada Republika, ia berkisah tentang pengalaman jenakanya di Tanah Suci dua puluh tahun silam. Meski jenaka, pengalaman itu justru menyadarkannya agar tidak membenci sesuatu secara berlebihan.
“Sebelum saya berangkat haji, dua hal yang paling saya benci di dunia ini adalah bulu ketiak dan rorombeheun,” kata Wanita asal Bandung, 30 Desember 1938 ini memulai ceritanya. Wajahnya serius ketika menyebutkan dua hal tersebut. Dijelaskannya, rorombeheun adalah kata bahasa sunda untuk keadaan tumit kaki pecah pecah. Hal tersebut sangat ia benci.
Anggota DPR RI Komisi X ini bertutur, jika ada orang-orang yang memiliki ketiak berbulu atau tumit pecah-pecah, ia tak sudi melihatnya. Dalam iklan deodorant di televisi sekalipun, meski dalam layar kaca disuguhkan ketiak yang bersih dan putih, ia tak sudi melihatnya.
Ada perasaan geli bercampur jijik, entah mengapa. Namun rupanya Allah tidak menyukai sikapnya yang mungkin terlalu berlebihan dalam membenci suatu hal. Di tanah suci, ia justru diperlihatkan dua hal yang ia benci itu.
Rasanya lelah, ketika tawaf ataupun shalat lima waktu di Masjidil Haram, ia selalu melihat dua hal yang ia benci itu. Ketiak selalu ia lihat apalagi ketika tawaf, karena memang pakaian ihram laki-laki memungkinkan bagian tersebut terlihat. Dan kaki rorombeheun pun tampak, ketika menjalankan shalat lima waktu. “Rasanya lelah sekali, sering melihat itu,” kata politisi yang gemar membaca dan berorganisasi itu. tapi ketika itu ia belum sadar.
Kesadaran bahwa kejadian tersebut merupakan ujian ialah ketika ia tengah rehat menunggu rombongan di salah satu tiang masjidil haram dekat sumur zam-zam. Di sana, ia duduk sembari menyelonjorkan kaki. Tiba-tiba dari kejauhan, ada seorang lelaki tinggi besar dari kejauhan menatapnya. Ia menggunakan kain ihram. Lelaki itu perlahan-lahan berjalan mendekatinya.
Ceu Popong ketika itu tidak berpikir macam-macam. Ia mengira, lelaki itu mengenalnya karena ia merupakan salah satu pengasuh salah satu lembaga pendidikan yang melibatkan para pelajar dari kawasan Timur Tengah.
Setelah berjarak satu meter lebih, pria itu berhenti dan menatapnya. Ceu Popong dengan polos bertanya, “Aya naon, bade ka abdi?” ia bertanya dalam bahasa sunda yang artinya: “Ada apa, mau ke saya?”. Tapi pria besar itu tidak berkata apa-apa. Justru secara mendadak, pria itu mengangkat salah satu tangannya dan menunjukkan ketiaknya di depan muka Ceu Popong.
Sontak, Ceu Popong terpaku di tengah rasa tidak suka dan kaget. Pria itu pun pergi begitu saja, meningalkan Ceu Popong yang terbengong-bengong. “Dari situ saya sadar, Allah sedang menegur saya,” tuturnya.
Teguran Allah, bahwa terhadap segala hal, kita tidak boleh terlalu berlebihan. Entah itu membenci maupun menyukai. Cukuplah bersikap biasa-biasa saja, sebab segala hal yang ada di alam dunia merupakan ciptaan Allah yang Mahakuasa, yang mesti dihargai. Sejak itulah, kejadian aneh tak muncul lagi. Tak lagi ia melihat ketiak atau tumit pecah-pecah. Jikapun melihatnya, perasaan hatinya sejak saat itu hingga kini menjadi biasa-biasa saja.
Sepulang haji, ia semakin yakin akan kuasa Allah yang tak terbatas. Allah Mahamengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati. Bahkan ketika kadar benci seorang hamba dirasa berlebihan terhadap sesuatu, Allah dengan Mahapenyayangnya, bersedia menegur.
Wanita yang selalu mendawamkan puasa daud ini pun berharap, di sisa hidupnya itu, ia ingin terus bermanfaat bagi sesama, dan sekecil mungkin tidak menjadi orang yang menyusahkan manusia lain. Dan tentu saja, Ceu Popong ingin terus menjaga hajinya agar senantiasa mendekati mabrur.