REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG -- Khatib Salat Idul Adha 1435 Hijriah di Masjid Agung kilometer 2 Kabupaten Waykanan Lampung Solehudin mengatakan salah satu hikmah perayaan Hari Raya Idul Adha adalah memperkokoh basis keluarga.
"Kisah keluarga Nabi Ibrahim AS memberikan pelajaran kepada kita betapa perhatian yang begitu besar dari seorang ibu kepada anaknya, meski tanpa kehadiran suami atau bapak disisinya," kata Solehudin dalam khotbah salat Id di Blambangan Umpu, Ahad (5/10).
Ia mengatakan setelah Nabi Ibrahim kembali ke Palestina, Siti Hajar yang hidup di Makkah bersama bayi Ismail berada dalam situasi sangat sulit, tidak ada orang, tanaman, binatang hingga air.
"Siti Hajar berusaha mencari rizki menuju bukit Shafa dengan meninggalkan Ismail. Kekhawatiran dan perhatiannya yang besar pada anak membuatnya harus kembali untuk memastikan sang anak dalam keadaan baik," paparnya.
Namun demikian, kata Solehudin, sekarang ini didapati berbagai kasus yang menggambarkan kurangnya perhatian orang tua kepada anak, bahkan jangankan bapak, ibu-ibu saja kurang perhatiannya kepada anak, bisa karena kesibukan atau sekadar mencari-cari kesibukan di luar rumah yang tidak jelas manfaatnya.
"Tapi sayang sekali, banyak orang di zaman sekarang tidak melindungi anak-anaknya, bahkan nauzubillah sampai ada yang menelantarkan, menganiaya, menzalimi hingga membunuhnya," katanya. Hal itu berbeda dengan Siti Hajar yang berhasil, tidak hanya membesarkan sang anak, tapi juga mendidik hingga memiliki kematangan mental dan intelektual dengan akhlak yang mulia.
"Komitmen tertinggi kepada Allah SWT telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau menunjukkan ketaatan yang luar biasa sejak muda remaja sampai tua. Ketika Ibrahim menghancurkan berhala-berhala raja Namrud, itu dilakukannya saat Ibrahim masih muda remaja, bandingkan dengan saat beliau melaksanakan perintah menyembelih Ismail yang sudah sangat tua," katanya.
Siti Hajar, ujar Solehudin lagi, juga menunjukkan komitmen tertinggi dengan sangat berbaik sangka kepada Allah SWT saat ia ditinggal sendirian bersama bayinya Ismail di Makkah yang saat itu belum ada kehidupan, tapi ia jalani hidup dengan penuh kesungguhan, usaha yang keras dan tawakkal kepada kepada Allah swt.
"Dan Ismail sendiri juga menunjukkan komitmen tertinggi dengan kesiapan, bahkan meyakinkan ayahnya untuk melaksanakan apa yang diperintah Allah SWT," ujarnya. Kunci semua itu, menurut dia adalah tidak berkompromi dan berkoalisi dengan setan dan para pengikutnya, mendudukkannya sebagai musuh abadi hingga selalu ada kesiapan untuk memeranginya yang dilambangkan dengan ibadah melontar di Mina dalam ibadah haji.