Jumat 03 Oct 2014 02:31 WIB

KKP Percepat Industrialisasi Kelautan dan Perikanan

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Julkifli Marbun
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo
Foto: kkp.go.id
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan sektor kelautan dan perikanan saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk sektor hulu, aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan produk kelautan di sektor hilir. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengambil kebijakan percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan yang merupakan integrasi sistem produksi hulu dan hilir. 

 

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Sharif C Sutardjo, dua persoalan utama di sektor hilir yakni kendala kekurangan dan tidak meratanya ketersediaan bahan baku untuk peningkatan produksi ikan olahan serta kemampuan untuk mengembangkan diversifikasi produk. Sedangkan di bagian hulu, perikanan masih mempunyai permasalahan dalam peningkatan kinerja produksi bahan baku dan ikan segar.

Oleh karena itu, kata dia, diperlukan sistem manajemen rantai pasokan ikan dan produk perikanan, bahan, dan alat produksi. Kemudian berbagai informasi, mulai dari pengadaan, penyimpanan, sampai dengan distribusi. Sistem manajemen rantai pasokan ikan yang dimaksud pihaknya adalah sistem yang mampu menjamin ketersediaan ikan secara kontinyu. Baik pada musin panen maupun paceklik, kepada konsumen maupun bahan baku industri pengolahan.

“Sistem tersebut diformulasikan dalam Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN)”, ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo saat menyampaikan pidato pada acara International Indonesia Seafood & Meat Conferene and Expo 2014 Focusing on Cold Conection di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (2/10). Dia menambahkan, SLIN menjadi kunci dalam meningkatkan kapasitas dan stabilisasi sistem produksi perikanan hulu-hilir, pengendalian disparitas harga, serta untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Sharif menjelaskan, beberapa komponen tentunya harus dipenuhi agar SLIN ini dapat berjalan dengan baik. Komponen tersebut terkait pengadaan, penyimpanan, transportasi, dan distribusi bahan atau alat maupun ikan itu sendiri. Selain ketersediaannya, komponen tersebut juga harus dapat mengakomodir faktor-faktor mendasar terkait karateristik sumberdaya ikan yang akan dikelola. Faktor tersebut terkait musim, keterpencilan lokasi (remoteness), dan karakteristik komoditas ikan yang mudah rusak (perishable).

“Berdasarkan karateristik tersebut, persyaratan komponen SLIN harus mampu mempertahankan mutu komoditas hasil perikanan sepanjang rantai nilai. Dimana terjadi pergerakan bahan baku dari pusat produksi atau pengumpulan ke pusat distribusi yang melibatkan waktu dan jarak,” katanya.

Dia menambahkan, satu-satunya cara untuk mempertahankan mutu kesegaran tanpa mengubah karateristik ikan adalah dengan menerapkan sistem rantai dingin melalui teknologi pendinginan dan pembekuan. Sarana dan prasarana seperti unit pembekuan, gudang beku, pabrik es, serta kendaraan angkut berpendingin harus tersedia dan beroperasi di pusat-pusat produksi maupun distribusi. “Penyediaan sarana dan prasarana penerapan sistem rantai dingin ini menjadi kunci utama dalam rangka percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan yang merupakan integrasi sistem produksi hulu dan hilir,” ujarnya.

Selain itu, dalam mendukung program SLIN, KKP juga mengembangkan industri pengolahan perikanan dalam negeri yang berdaya saing tinggi sehingga dapat memberikan nilai tambah pada produk hasil perikanan. KKP juga mengaku telah menyiapkan peta jalan pembangunan gudang pendingin dari tahun 2011 hingga 2015. Lebih rinci, pada tahun 2011 telah dibangun sebanyak tiga unit lemari pendingin (cold storage) lalu dilanjutkan pada tahun 2012 dengan membangun sebanyak 27 unit. Sementara di tahun 2013 dan 2014 masing masing 27 unit dan 21 unit cold storage.

“Sebab itu, berbagai program pro-rakyat melalui peningkatan supply chain and value chain management  terus digencarkan. Ini dapat berupa peningkatan produksi produk olahan ikan bernilai tambah tinggi melalui peningkatan kapasitas Usaha Kecil Menengah (UKM) dan industrialisasi pengolahan,” ujarnya.

Dia menambahkan, industri pengolahan hasil perikanan didorong dan dikembangkan agar bisa menghasilkan produk yang memiliki mutu yang baik, aman dikonsumsi, tersedia secara berkesinambungan, berdaya saing secara ekonomis, serta sesuai dengan selera masyarakat. Saat ini sebanyak 73 unit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) telah mendapatkan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP). Selain itu, terdapat 48 industri pengalengan ikan di Indonesia yang sudah menerapkan standar internasional yang tersebar di Bali, Banyuwangi, Pasuruan, dan Bitung. Tercatat, Unit Pengolahan Ikan (UPI) berjumlah sekitar 63.000. Dari jumlah UPI tersebut, terdapat UPI skala besar sebesar 613 unit dan sisanya merupakan UPI skala kecil-menengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement