Kamis 02 Oct 2014 20:56 WIB

Geger UU Pilkada, Lebay Amat Sih....

Hasil voting RUU Pilkada.
Hasil voting RUU Pilkada.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Taufik rahman, [email protected]

RUU Pilkada yang pekan lalu disahkan paripurna DPR RI memicu heboh nasional. Energi nasional seolah diserap habis oleh polemik seputar pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Ada pandangan bahwa pilkada DPRD merenggut demokrasi. Ada yang menyebut pilkada DPRD telah mengubur demokrasi. Namun tak jelas demokrasi mana yang dimaksudkan.

Bagi saya yang awam, demokrasi adalah penghormatan atas hak dan kewajiban. Koalisi merah putih berhak untuk memiliki pandangan bahwa Pilkada DPRD adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Menjadi hak Fraksi Demokrat untuk walk out di sidang paripurna karena aspirasinya tak diakomodasi.

Politik adalah suatu pilihan. Suatu kemampuan atau seni mempengaruhi orang lain,....having the ability to exercise someone behavior deservation by the power. Kalau gagal mempengaruhi orang lain untuk sama-sama satu barisan mendukung pilkada langsung, mengapa harus menyalahkan pendukung pilkada DPRD? Inikah yang disebut dengan demokrasi?

Geger nasional UU Pilkada terjadi saat Jokowi-JK tengah menimang-nimang calon anggota kabinet? Ada yang mengkaitkan geger itu dengan aksi balas dendam karena kalah pilpres. Rumor lain menyebut heboh pilkada DPRD hanyalah sebuah manuver politik menjelang pelantikan dan penyusunan kabinet.

Aksi walk out Demokrat dikaitkan dengan kekecewaan demokrat terhadap koalisi pemenang pemilu. Konon transisi pemerintahan telah disiapkan SBY untuk Jokowi-JK. Namun niat baik SBY seperti diabaikan Jokowi. Karena diabaikan itulah Demokrat unjuk gigi. Aksi walk out adalah sebuah warning kepada Jokowi dan koalisi pendukungnya. Menang pilpres bukanlah menang segalanya dan bisa mengabaikan atau meremehkan kekuatan politik lain seperti Demokrat.

Ditengah hiruk pikuk UU Pilkada, ada yang memanfaatkan heboh itu menjadi sebuah arena atau panggung talent scouting kabinet.Sehingga kalangan elite kita pada sibuk sendiri, beramai-rmi mencuri perhatian, menunjukan kepiawaiannya berpolitik, ada pula yang berusaha tampil pahlawan. Mereka beramai-ramai menawarkan solusi dan mengecam habis aksi walk out Demokrat dan para pendukung pilkada DPRD.

Sayapun terkaget kaget ketika seorang OC Kaligis mendaftarkan gugatan yudicial review ke MK. UU Pilkada baru disahkan sidang paripurna DPR. Ia belum diundangkan. Nomor UU ini juga belum diketahui, kok sudah ada yang mengajukan ujimateri ke MK. Yang tak kalah kaget adalah rencana Presiden membuat Perppu UU Pilkada. Ada kegentingan dan kondisi darurat apa sehingga harus ada Perppu UU Pilkada. Perppu tak urung hanya akan memicu kegaduhan baru.

Hiruk pikuk soal UU Pilkada mengingatkan saya pada tudingan Gus Dur bahwa DPR tak ubahnya anak-anak TK. Boleh jadi tudingan itu benar adanya. Kelakukan elit kita tak ubahnya anak-anak TK,tak bisa diatur, maunya sendiri, berisik dan kolokan. Soal UU Pilkada bisa memberikan gambaran soal itu.

Wacana soal pengkajian UU Pilkada telah muncul beberapa tahun lalu, menyusul ekses pilkada di sejumlah daerah. Muncul desakan, baik dari kalangan parlemen, pakar, partai politik dan elemen lain, agar presiden melakukan kaji ulang sistem pilkada. Yang menarik banyak di antara elite kita yang sekarang bersuara lantang menentang Pilkada DPRD, sebelumnya berada di garda depan menentang Pilkada Langsung. Dua ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, sependapat bahwa Pilkada langsung banyak mudharatnya. Karena pilkada langsung menimbulkan banyak ekses di tingkat akar rumput.

Dari sisi anggaran, Pilkada Langsung ternyata juga boros. Pemprov Bengkulu, misalnya memperkirakan biaya Pilkada DPRD hanya 10 persen dari biaya Pilkada Langsung. Lantas untuk membiayai Pilkada di 33 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota, berapada dana APBN yang harus digelontorkan? Bila Pilkada provinsi menghabiskan Rp 1 miliar, lalu Pilkada DPRD Rp 50 miliar, berapa ratus triliun uang yang bisa dihemat dengan pilkada DPRD.

Pilihan pada Pilkada DPRD, tentu saja, bukan pilihan ngawur. Ada hitung-hitungan politik, anggaran, termasuk ekses yang ditimbulkan. Lantas yang lebih penting lagi Pilkada DPRD tak melanggar konstitusi. Bila koalisi Merah Putih mengusung pilkada DPRD, tentu saja ada reasoningnya. Pasalnya konstitusi tidak mengatur Pilkada harus langsung atau tidak langsung alias melalui DPRD.

Tanpa hiruk pikuk dan saling memaki antara satu dengan yang lain, soal ini bisa diselesaikan dengan kepala dingin dalam waktu singkat. Kalau memang semua pihak sepakat bahwa Pilkada juga harus langsung seperti Pilpres, mari kita amandemen konstitusi agar Pilkada dipilih langsung. Dengan amandemen konsitusi, semua ketentuan perundangan tentang Pilkada akan tunduk pada amanat konstitusi. Simpel, bukan. Mengapa tidak dicoba. Soal UU Pilkada yang sudah disahkan, biarkan saja jadi macan ompong. Tapa peraturan pemerintah dan petunjuk pelaksanaan lainnya, sulit menerapkan UU ini. Risikonya beberapa pilkada ditunda sampai ada UU baru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement