REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sidang itsbat dalam menetapkan awal Zulhijah dalam bulan qamariyah untuk menentukan hari raya Idul Adha kembali menjadi bahan perdebatan, apakah praktiknya masih harus dipertahankan atau lebih baik tidak melakukan itsbat karena mengikuti ketetapan pemerintah Saudi Arabia.
Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama (Kemenag) utusan dari Planetarium Jakarta punya jawaban ilmiah terkait pentingnya melakukan sidang itsbat untuk satu Dzulhijah.
“Sidang itsbat penting untuk memfasilitasi konfirmasi rukyat atas hisab,” kata dia kepada //Republika// usai melakukan konferensi pers soal perbedaan penetapan satu Dzulhijah di Arab Saudi dan Indonesia.
Selain menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan kepastian kepada masyarakat untuk menetapkan tanggal tertentu dalam bulan qamariyah, sidang itsbat juga merupakan amanat dari fatwa MUI no 2 tahun 2004. Di situ menjelaskan penentuan Syawal, Ramadhan dan Dzulhijah berdasarkan pada rukyat dan hisab.
“Kalau hisab itu tidak perlu ngumpul-ngumpul, tapi rukyat dilaksanakan di akhir bulan qamariyah tertentu untuk menegaskan hisab,” terangnya.
Menyoal puasa Arafah,ia menerangkan puasa tersebut tidak diartikan sebagai puasa yang waktunya bersamaan dengan jamaah haji ketika di Arafah. Pengertian puasa arafah, berdasarkan kesepakatan para ahli syariat di Indonesia, ialah puasa yang dilaksanakan pada 9 Dzulhijah, makanya pelaksanaannya pun mengikuti tanggal yang ditetapkan pemerintah setempat berdasarkan //matla//.
Maka, pelaksanaannya pun tidak bisa diseragamkan, melainkan berdasarkan keyakinan masing-masing wilayah. Ia pun mengimbau agar kepada seluruh umat Islam tetap memegang teguh ukhuwah islamyiah dan rasa toleransi beragama meski terdapat perbedaan waktu Idul Adha.