REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai Undang-Undang perubahan Iklim harus segera di produksi. Menurut mereka sangat tidak adil manakala dampak perubahan iklim saat ini ditanggung oleh generasi yang akan datang.
Dalam pengertian, Walhi berpendapat, perubahan Iklim yang berdampak pada lingkungan hidup, tidak hanya dipandang sebagai fenomena alam atau proses alamiah. Tapi juga harus dilihat sebagai sebuah dampak dari aktivitas dan campur tangan manusia.
Antara lain kegiatan Industri, Energi, Teknologi, Pertanian, Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan sebagainya. Berbagai aktiviats ini menghasilkan fakta adanya peningkatan produksi emisi.
Walhi mengatakan Indonesia adalah salah satu dari lima negara penghasil emisi terbesar di dunia. Penyebabnya adalahakibat dari terjadinya deforestasi dan degradasi hutan.
"Meski Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen hingga 2020, namun faktanya belum mampu dilakukan,"terang Edo, Manager kampanye Walhi Nasional.
Selanjutnya Edo mengatakan bentuk-bentuk adapatasi terhadap perubahan iklim harus dilakukan dari sekarang. Yaitu dengan mengupayakan pengurangan-pengurang emisi melalui moratorium hutan primer dan seluruh hutan gambut.
selain itu harus ada upaya penghentian penggunaan batu bara sebagai sumber tenaga listrik. Maksimalkan sumber-sumber energi yang tersedia di Indonesia, seperti panas bumi, tenaga matahari, tenaga arus laut dan sumber-sumber energi bio feul lainnya. "kita tahu batubara adalah sumber energi terkotor saat ini,"kata Edo.
Agar semua hal diatas dapat terwujud, Indonesia butuh regulasi perundang-undangan yang secara serius mengatur dan menetapkan kondisi dan dampak-dampak perubahan iklim. Serta bagaimana tanggung jawab terhadap rakyat, atas dampak perubahan iklim yang terjadi.
"Jika tidak generasi yang akan datang harus menerima dampak yang lebih parah dari apa yang dilakukan saat ini,"Pungkas Edo.