REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemikiran tentang praktik qurban yang mengarah pada mempertontonkan sadisme untuk anak-anak dinilai sebagai pemikiran liberal yang kebablasan. Sebab praktik kurban, selain merupakan syariat agama Islam yang dicontohkan Rasulullah, juga menjadi sarana edukasi pada diri anak-anak Muslim di madrasah untuk melakukan ibadah sosial.
“Dalam beragama mesti dipilah mana yang tekstual dan dicontohkan nabi dan mana yang tidak. Berdasar seperti yang dipikirkan kalangan liberal,” ujar Direktur Pendidikan Madrasah Kementerian Agama (Kemenag) Nur Kholis Setiawan kepada Republika pada Sabtu (27/9).
Pembelajaran tersebut, kata dia, berupa contoh Nabi untuk berbagi kepada kaum dhuafa, serta memaknai penyembelihan hewan kurbans ebagai kafarat menghapus dosa dalam setiap tetes darahnya. Maka, pemerintah seharusnya memprioritaskan dimensi edukasi dan mengabaikan ganggunan pikiran liberal dari peserta didik.
Selaku direktur madrasah, tidak ada kebijakan serupa tentang pelarangan praktik pemotongan hewan qurban di madrasah. Sebab, selain praktiknya penting untuk pembelajaran, mayarakat Islam juga mengetahui tempat-tempat yang baik untuk melakukan pemotongan hewan tanpa berdampak fatal dalam mengganggu kebersihan lingkungan.
Menanggapi Instruksi Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 67 tahun 2014 tentang pengendalian penampungan dan pemotongan hewan dalam rangka Idul Fitri dan Idul Adha tahun 2014, Nur Kholis mengimbau masyarakat Muslim agar menyikapinya secara proporsional.
Jika maksud dari insgub tersebut agar praktik kurban akan berpotensi berdampak pada lingkungan yang tidak bersih, maka instruksi tersebut bisa diterima. Misalnya, jika lingkungan sekolah terlalu sempit dan tidak memungkinkan untuk melakukan praktik qurban, memang sudah seharusnya masyarakat melakukan pemotongan hewan tidak di tempat tersebut.
Dikatakanya, jika ada tempat yang lebih higienis, tidak mengganggu kebersihan lingkungan, itu justru lebih baik dalam melancarkan syiar Islam berupa kurban kepada masyarakat termasuk anak-anak. “Jangan sekadar melarang lalu berpotensi melukai banyak pihak, melarang itu harus dibarengi alternatif solusi,” ujarnya.