Sabtu 27 Sep 2014 04:12 WIB

Bila Ulama Menistakan Agama

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arif Supriyono

Saya tak akan membicarakan soal Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang hari ini diputuskan DPR. Bukan lantaran masalah ini tak penting, tetapi saya sedang memikirkan hal lain yang mengoyak-ngoyak nurani.

Saya juga tak sedang memasalahkan keputusan hakim tindak pidana korupsi yang memvonis sahabat saya, Anas Urbaningrum, delapan tahun penjara. Pun saya tak sedang mempersoalkan penolakan jaksa dan hakim yang diajak Anas agar bersama-sama melakukan sumpah mubahalah (bersumpah untuk meminta Allah agar mengutuk/melaknat siapa yang bersalah).

Pikiran dan perasaan saya sedang berada di Ambulu, Jember, Jawa Timur. Ini tak ada kaitannya dengan artis Dewi Perssik atau musisi Anang Hermansyah yang memang berasal dari Jember.

Saya sedang sakit hati teramat pedih mendengar kabar adanya pengasuh pesantren di Jember yang telah menistakan agama dan merusak perannya sebagai penjaga moral anak bangsa. Kalau benar itu yang terjadi, sungguh biadab apa yang telah dilakukannya.

Berdasarkan laporan polisi setempat pekan lalu, pengasuh pesantren NH di Ambulu, Jember yang berinisial IK (38 tahun)  --tentu pula seorang ulama-- telah melakukan perbuatan hina dina dan teramat nista. Dalih yang digunakan untuk melakukan perbuatan bejat itu adalah aktivitas suci berupa doa bersama.

Sejak setahun terakhir ini, di pesantren tersebut secara rutin digelar acara doa bersama sekitar pukul 21.00-22.00. Sebelum acara dimulai, IK biasanya mengajak seorang santriwati untuk masuk ruangan khusus bersamanya. Santriwati inilah yang akan menemani IK untuk membacakan wiridan-wiridan (semacam doa/zikir).

Saat doa bersama dimulai, seketika itu pula IK langsung menggagahi santriwatinya. Sang santriwati tentu saja tak kuasa mengelak lantaran tekanan dan posisinya sebagai murid. Saking kerasnya alunan doa bersama oleh puluhan santri lainnya, apa yang terjadi di ruangan khusus millik IK itu pun tak terdengar oleh yang lain, sehingga selalu berulanglah tindakan nista yang penuh nafsu hewani tersebut.

Sempat beredar kabar, bahwa telah terjadi pernikahan siri --antara para korban dengan IK-- sebelum melakukan hubungan badan. Hal ini pun dibantah oleh kepolisian. Ada yang menyebutkan, sebanyak 11 santriwati telah dinistakan dan dirusak masa depannya oleh IK. Semuanya berumur di bawah 17 tahun alias belum masuk kategori dewasa.

Kita semua perlu mendorong aparat kepolisian untuk mengungkap kasus yang memprihatinkan tersebut. Tak perlu ada yang ditutup-tutupi. Latar belakang agama sang pelaku tak perlu membuat aparat risih untuk membongkarnya dan kemudian mengajukan ke meja hijau. Toh bukan agamanya yang salah tetapi perilaku bejatnya itu yang layak mendapat kutukan dan hukuman setimpal.

Sudah terlalu banyak kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan dengan bungkus kegiatan agama. Karena itu, sudah selayaknya pula aparat menghilangkan segala sikap ewuh-pakewuh untuk menuntaskannya. Sikap ewuh-pakewuh atau pembiaran hanya akan menjadi preseden buruk dan menumbuhsuburkan tindakan biadab ini.

Tokoh agama bukannya orang yang tak bisa disentuh hukum. Mereka memiliki kedudukan yang sama dan setara dengan warga negara lainnya. Dalih, bahwa tokoh agama memiliki umat di belakangnya sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan sosial jika proses hukum diberlakukan padanya, sudah tidak bisa diterima.

Masyarakat harus disadarkan, bahwa apa yang dilakukan IK bukanlah contoh yang baik. Menutup-nutupi perilaku IK sama saja dengan membiarkan orang yang secara sengaja mencemarkan kesucian agama Islam.

Hukuman paling berat layak ditimpakan kepada IK. Hal ini karena dia merupakan ulama/pengasuh pesantren. Sebagai orang yang paham agama, mestinya justru nilai kebaikan dan moral yang diajarkan dan dicontohkan pada para santrinya. Ini malah tidak, justru tindakan yang menjadi larangan agamalah yang telah dilakukannya.

Apalagi, tindakan laknat itu dilakukan di pesantren, sebuah institusi yang diharapkan mampu melahirkan orang berbudi pekerti luhur dan menjadi panutan di masyarakat. Pesantren adalah sebuah lembaga yang senantiasa memberikan ilmu tentang perilaku utama dan insan mulia dalam kehidupan bermasyarakat.

Acara yang melatarbelakangi tindakan bejat itu pun sepenuhnya merupakan aktivitas keagamaan, yakni berupa doa bersama oleh para santri. Tak bisa dibayangkan, kerasukan setan seperti apa si IK itu sampai tega menggagahi santriwatinya di tengah gemuruh doa suci yang sering kali  membuat bulu tubuh merinding dan bahkan jiwa pun seolah melayang.

Belum lagi kalau dibahas soal korban yang jadi pemuas nafsu birahinya. Mereka adalah anak-anak yang masih di bawah umur. IK pun melakukan semua itu dengan kesadaran dan berulang-ulang. Rasanya sulit bagi saya untuk bisa memberi maaf atas kebejatan perilakunya.

Orang seperti IK sepertinya tak layak lagi diberi kewenangan untuk menjadi pengasuh pesantren. Sudah terlalu banyak korban yang dijadikan budak nafsunya.

Manusia sejenis IK inilah yang sebenarnya telah menistakan agama Islam. Nilai-nilai mulia dan kebaikan Islam telah ditempatkan pada dasar paling bawah di lumpur kenistaan. Dia juga menodai lembaga pesantren yang selama ini menjadi salah satu penyangga utama moral atau akhlak anak bangsa.

Akan lebih baik, selain proses hukum, jika lembaga yang menaungi keberadaan umat semacam Majelis Ulama Indonesia atau yang lain membuat pernyataan yang mengecam tindakan biadab tersebut. Ini akan membuat masyarakat kian percaya, bahwa lembaga keagamaan kita memang tak menoleransi dan tak pandang bulu atas segala perbuatan keji dan biadab semacam itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement