REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) telah rapung dibahas dan akan diparipurnakan di DPR, Jumat (25/9). Dalam RUU tersebut, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang berfungsi mengaudit proses pemeriksaan produk yang akan disertifikasi bisa dari pihak pemerintah ataupun swasta.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amalia mengatakan, pendirian LPH harus melalui akreditasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Semua pihak boleh mendaftar sebagai LPH dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. “Jadi memang (LPH) bisa dari swasta atau pemerintah,” katanya kepada ROL, Selasa (23/9).
Dia menjelaskan, beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang ingin mengajukan diri sebagai LPH adalah punya alat yang memenuhi standar audit untuk produk halal. Selain itu, LPH juga harus didirikan oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam yang telah berbadan hukum. “Jadi tidak sembarang ormas juga,” ujarnya.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, adanya LPH tidak mengurangi wewenang MUI. Bahkan, kata dia, wewenang MUI menjadi bertambah. Sebab, siapapun LPH-nya, pihak yang berhak untuk mengeluarkan produk halal tetap berada di tangan MUI. MUI punya otoritas penuh terkait fatwa halal.
Adanya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai badan independen yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan sertifikat halal tidak akan bisa mengeluarkannya tanpa ada fatwa dari MUI. MUI juga bertugas untuk menyiapkan akreditasi LPH. Selain itu, MUI juga melakukan standardisasi proses pemeriksaan.
“Jadi meski banyak LPH, MUI tetap yang menentukan kehalalan suatu produk,” ujar Ledia.