REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti dari Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Jazir menilai pemilihan kepala daerah tidak langsung dibenarkan secara yuridis filosofis, yuridis konstitusional, maupun yuridis empirik.
"Pemilihan dengan sistem tidak langsung, seperti pemilihan Gubernur DIY dan wali kota di DKI Jakarta dibenarkan, asalkan untuk kedaulatan rakyat, dan uangnya tidak habis untuk proses pilkada," kata Jazir di Sleman, Selasa.
Menurut dia, pilkada secara tidak langsung dibenarkan secara hukum, sama seperti pilkada langsung.
"Dari hasil kajian teoritis, pilkada tidak langsung dibenarkan dari sisi yuridis filosofis, konstitusional maupun yuridis empirik. Apalagi dengan sistem tidak langsung juga pernah dilakukan sebelumnya," katanya.
Ia mengatakan sistem pilkada tidak langsung memiliki dasar atau landasan konstitusional serta landasan filosofis.
"Pilkada melalui sistem pemilihan DPRD tersebut juga tidak menyalahi aturan, karena intinya adalah permusyawaratan dan kedaulatan rakyat," katanya.
Jazir mencontohkan pemilihan Gubernur DIY melalui mekanisme penetapan tanpa pemilihan langsung oleh rakyat juga dibenarkan secara konstitusi, termasuk pemilihan wali kota di DKI Jakarta oleh gubernur.
"Hal sepeti itu sudah sesuai dengan demokrasi Pancasila yang asimetris dan Berbhinneka Tunggal Ika," katanya.
Ia mengatakan DPR harus cermat dalam memperhatikan isi dari Rancangan Undang-undang Pilkada sebelum nantinya disahkan.