Selasa 23 Sep 2014 19:06 WIB

Dihantam Produk Impor, Nasib Petani Memprihatinkan

Seorang Petani, Gofur (55) menunjukan pipa air yang kosong disawahnya kawasan Kopyak, Indramayu, Selasa (26/8). (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Seorang Petani, Gofur (55) menunjukan pipa air yang kosong disawahnya kawasan Kopyak, Indramayu, Selasa (26/8). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Saat ini, kehidupan petani dinilai sangat memprihatinkan. Hal itu ditandai dengan lemahnya daya saing petani. Hasil pertanian para petani terus-menerus dihantam produk-produk impor dengan harga murah.

"Karena itu, sampai kapanpun, meski kerja keras, petani tidak akan bangkit," ujar Direktur Utama PT Gendhis Multi Manis, Kamajaya, Selasa (23/9). Kamajaya selama ini dekat dengan petani terbukti dengan pabrik gulanya 100 persen berasal dari kebun plasma petani.

Tidak heran, kata dia, banyak petani yang beralih profesi ke pekerjaan lain. "Mereka sudah kerja keras banting tulang setahun penuh, begitu panen yang ada utangnya bertumpuk. Makanya mereka akan berpikir mencari pekerjaan lain. Ngapain lagi cape-cape banting tulang," jelas Kamajaya.

Tidak hanya petani yang menjerit, Indonesia yang punya kekayaan sumber daya alam, dan dikenal sebagai negara tropis, juga tidak bisa lagi mengekspor seperti dahulu.

"Kita ini tropical country. Sekarang kalau bicara gula misalnya, dulu kenapa kita eksportir gula. Karena kita itu punya tanah, punya alamnya dan punya komunitas petani yang luar biasa banyak. Sekarang permasalahannya, barang-barang impor menghantam barang-barang lokal. Jadi sampai kapanpun nggak akan bisa bangkit," ungkapnya.

Dia menjelaskan, dulu rendeman atau kader gula pada tebu itu 14 persen. Sekarang 7 persen. Makanya kalau dimaksimalkan, potensi produksi itu bisa 2 kali lipat.

"Kalau misalnya Indonesia produksi 2,5 ton, dan balik, kan bisa 5 ton (produksinya). Bisa selesai perkara nggak perlu impor. Pola yang sama bisa diterapkan di semua pruduk. Wong dulu kita ekspor jagung kok, ekpor beras ke Thailand dan kemana-mana," bebernya.

Kamajaya juga menekankan, Indonesia tidak akan mati kalau tidak impor. Justru menurutnya, negeri ini bisa bangkit kembali.

"Dulu zaman saya waktu kecil, banyak namanya soun. Soun itu terbuat dari singkong. Kenapa sekarang dipaksain pakai mie, pakai gandum. Zaman kecil saya, gula aren, gula jawa begitu banyak. Emang kita mati kalu nggak impor gula. Kan nggak?" ungkapnya.

"Padahal Indonesia punya hamparan tanaman kelapa terbesar di dunia. Jadi palm sugar punya potensial for manufacturing luar biasa besar. Kenapa sekarang gula dirafinasikan. Bayangkan kalau kita punya gula jawa, gula aren itu meledak, kita bisa ekspor kemana-mana," sambungnya optimis.

Makanya dia berharap, petani harus dikasihani. Karena kondisi hidup mereka sudah sangat susah. "Sementara orang yang namanya dagang, sesusah apapun, yang namanya pengusaha jauh lebih baik kondisinya. Intinya harus bisa berbagi hidup ini. Itu saja," tegas Kamajaya.

 

  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement