Selasa 23 Sep 2014 16:49 WIB

Kedaulatan Rakyat tak Identik Dengan Pemilihan Langsung

Rep: Eko Widiyanto/ Red: Bayu Hermawan
  Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan aksi tolak RUU Pilkada di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (14/9).  (Republika/ Tahta Aidilla)
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan aksi tolak RUU Pilkada di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (14/9). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID PURWOKERTO -- Tokoh ekonomi kerakyatan Prof Sri Edi Swasono mengatakan kedaulatan rakyat tidak identik dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung.

''Demokrasi adalah Kerakyatan. Demokrasi adalah Daulat Rakyat, bukan Daulat Tuanku, dan bukan pula Daulat Pasar. Pemerintahan demokratis adalah pemerintahan cap rakyat, bukan cap tuanku, bukan cap pemodal, bukan pula cap partai ataupun cap teknokrat, bukan pula cap penguasa atau pun cap proletar,'' jelasnya di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Selasa (23/9).

Menurutnya Pilkada langsung yang diributkan saat ini hanya secuil kecil dari wujud dan ekspresi kedaulatan rakyat. Ia mengingatkan dalam NKRI yang berkonstitusi, wujud ideal-normatif dari kedaulatan rakyat adalah adanya MPR yang terdiri dari DPR, ditambah Utusan-Utusan dari Daerah dan Golongan.

''Hal ini dimaksudkan agar memenuhi paham kebersamaan Indonesia berupa semua diwakili, bukan semua dipilih,'' katanya.

Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa ini juga menyatakan, pemilihan langsung tidak menjamin hak-hak asasi dan hak-hak sosial politik rakyat akan dihormati dan diwujudkan.

Bahkan tidak ada jaminan juga bahwa kepala-kepala pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah yang terpilih secara langsung, benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat pemilih. Seringkali partai-partai pengusung kepala daerah, mengambil oper bahkan merampas kedaulatan rakyat sejak pencalonan-pencalonan mereka.

Edi melanjutkan, Pilkada langsung justru telah mengabaikan legitimasi tunggal (single legitimacy) seperti dikehendaki oleh konstitusi.

Pemilihan langsung menumbuhkan legitimasi ganda (double legitimacy), karena kepala-kepala daerah akan memperoleh legitimasi yang sama dengan DPRD-DPRD yang juga dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam suatu kedaruratan tertentu, kata Prof Edi, kerancuan double legitimacy ini bisa  berakibat representasi kerakyatan saling setara pada badan legislatif dan badan eksekutif, yang tentu bisa saling memakzulkan satu sama lainnya. 

''Apa yang dikemukakan di atas adalah himbauan agar kita tidak terjebak pada kasus-kasus sesaat, kita harus tetap memikirkan konteksnya dengan masa depan yang benar berdasar single legitimacy. Jangan sampai reformasi menjadi deformasi permanen,'' katanya.

Prof Edi juga menegaskan,  MPR tidak seharusnya berubah menjadi MVR (Majelis Voting Rakyat). Demikian pula DPR, jangan terdistorsi dari hakikatnya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Dewan Perwakilan Partai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement