Senin 22 Sep 2014 14:20 WIB

'Semestinya yang Wajib Dilabelisasi itu Produk Haram'

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Mansyur Faqih
Halal dan haram.
Foto: Blogspot.com
Halal dan haram.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pro-kontra terkait labelisasi halal masih bergulir jelang pengesahan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) yang rencananya digelar DPR pekan ini. 

Suara ketidaksetujuan antara lain datang dari pengamat kebijakan publik Zaim Saidi yang menilai labelisasi halal tidak perlu dilakukan.

"Semestinya yang wajib dilabelisasi itu produk-produk haram, bukan yang halal," kata dia saat dihubungi Republika, Senin (22/9).

Menurutnya, ada alasan mendasar mengapa kewajiban labelisasi halal tidak diperlukan. Antara lain, produk halal bersifat keumuman, sedangkan produk haram merupakan perkecualian. 

"Jenis produk yang diharamkan dalam Islam itu bisa dihitung dengan jari tangan. Selebihnya, dengan jenis dan jumlah yang hampir tak terbatas, adalah halal. Karenanya, lebih tepat jika produk haram itu saja yang dinyatakan haram. Sedangkan yang halal tidak perlu diberi label apa-apa," tuturnya.

Namun, Zaim tidak menolak adanya labelisasi terhadap produk-produk halal. Hanya dengan catatan, hal tersebut sifatnya sukarela. "Kalau pun nanti ada yang mau mencantumkan label halal, ya silakan. Tapi jangan ada paksaan," ujarnya.

RUU JPH antara lain menyebutkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) diberi kewenangan untuk mengaudit sampai mengeluarkan fatwa terkait produk yang akan disertifikasi. Sementara, kewenangan penerbitan sertifikat untuk produk yang dinyatakan halal oleh MUI diserahkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Pemerintah berpendapat, pembagian wewenang itu sudah tepat dan sesuai dengan peran, kapasitas, serta fungsi MUI sebagai ulama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement